Pada tahun 1924, W.R. Soepratman pindah ke Bandung dan bekerja sebagai wartawan di surat kabar Kaoem Moeda. Setahun kemudian, ia pindah ke Jakarta dan bekerja di Surat Kabar Sin Po. Di sinilah beliau mulai berinteraksi dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional.
Puncak kariernya terjadi pada Kongres Pemuda Kedua yang berlangsung pada 27-28 Oktober 1928, saat untuk pertama kalinya lagu "Indonesia Raya" diperdengarkan di hadapan para peserta kongres.
Dengan gesekan biola yang penuh perasaan, Soepratman mempersembahkan lagu tersebut sebelum dibacakannya keputusan kongres yang kita kenal sebagai "Sumpah Pemuda."
Namun, keberaniannya mengangkat kata "Merdeka" dalam lagu tersebut membuatnya diawasi ketat oleh pemerintah kolonial Belanda. Pada tahun 1930, Belanda melarang rakyat Indonesia menyanyikan "Indonesia Raya" di depan umum, tetapi semangat kemerdekaan yang terkandung dalam lagu tersebut telah menyebar ke seluruh penjuru nusantara.
Mengunjungi Makam Wage Rudolf Soepratman
Makam Wage Rudolf Soepratman terletak di Jalan Kenjeran, Rangkah, Tambaksari, Surabaya. Makam ini menjadi tempat peristirahatan terakhir sang maestro setelah beliau berpulang pada 17 Agustus 1938. Saat Anda mengunjungi makam ini, Anda akan merasakan kedamaian sekaligus kebesaran jasa yang telah beliau berikan bagi bangsa.
Makam Soepratman berada di dalam cungkup dengan lantai marmer yang menambah suasana khidmat. Sisi-sisi makamnya dilapisi marmer, sementara bagian tengahnya diukir berbentuk biola---alat musik yang sangat berperan dalam hidup dan karyanya.
Area ini sering menjadi tempat peziarah menaburkan bunga sebagai bentuk penghormatan. Keberadaan biola ini tidak hanya menjadi hiasan, tetapi juga simbol peran besar musik dalam perjuangan kebangsaan Indonesia.
Melestarikan Warisan Sang Pahlawan
Makam ini bukan sekadar tempat peristirahatan terakhir, tetapi juga sebuah monumen sejarah yang mengingatkan kita akan pentingnya musik dalam membangkitkan semangat nasionalisme.
Rumah terakhir Soepratman di Jalan Mangga No. 21, Surabaya, kini telah diubah menjadi museum yang juga diakui sebagai cagar budaya. Tempat ini menjadi saksi bisu perjuangan seorang pemuda yang menggunakan musik sebagai alat perlawanan terhadap penjajahan.
Melalui kunjungan ke makam dan museum W.R. Soepratman, kita tidak hanya mengenang jasa beliau, tetapi juga diajak untuk terus menghargai dan melestarikan semangat perjuangan yang telah beliau wariskan kepada kita semua.