Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

PHK Besar-besaran Bukan Berarti Bisnisnya Bangkrut

9 Februari 2023   17:25 Diperbarui: 14 Februari 2023   10:31 1252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setahun teakhir, seringkali kita mendengar atau membaca betapa banyaknya dilakukan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) besar-besaran. 

Apalagi di bisnis berbasis teknologi, yang heboh dan menjadi incaran banyak fresh graduate beberapa tahun lalu, selama setahun ini banyak melakukan PHK kepada para pekerjanya.

Selama tahun 2022, 1.044 perusahaan teknologi melakukan PHK terhadap 159.786 pekerja. Dan, per awal Februari 2023 saja, sudah 321 perusahaan teknologi melakukan PHK kepada 97.996 pekerja. (Data: layoffs.fyi)

Apakah alasan mereka melakukan PHK? Apakah perusahaan mereka bangkrut?

CEO Alphabet (perusahaan induk Google), Sundar Pichai, pada saat memberhentikan 12.000 pekerja mereka, mengatakan para eksekutif memutuskan untuk memangkas pekerjaan setelah "peninjauan yang ketat" terhadap struktur dan organisasi internal Google. 

Namun, di saat bersamaan Pichai mengatakan bahwa perusahaan mereka "merekrut untuk realitas ekonomi yang berbeda" dari yang dihadapinya. Dan, PHK yang dilakukan diperlukan untuk menyiapkan Google di masa depan. (Business Insider, 6 Februari 2023)

Kejadian seperti itu merajalela di sekitar Silicon Valley. CEO perusahaan seperti Amazon, Microsoft, Salesforce, dan Meta menetapkan perusahaan mereka pada jalur yang tidak berkelanjutan, berinvestasi dalam usaha baru dan menganggap ledakan teknologi yang didorong oleh pandemi akan menjadi era new normal.

Banyak pekerja teknologi kelas atas menanggung beban dari keputusan buruk tersebut. Sementara itu, eksekutif yang paling bertanggung jawab atas kekacauan menghadapi sedikit atau tanpa konsekuensi yang berarti.

Dalam berbagai pengumuman PHK yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan teknologi teratas tersebut, mereka terlihat dan terdengar menyalahkan ketidakpastian ekonomi. 

Misalnya, di Amazon, PHK itu diperlukan karena "kesulitan rantai pasokan, inflasi, dan produktivitas yang menggantung" dan ketidakpastian ekonomi. 

Senada dengan itu, CEO Salesforce Marc Benioff mengutip "penurunan ekonomi yang kita hadapi sekarang" sebagai alasan pengurangan 10% jumlah insan perusahaan.

Di lain kesempatan, Workday memberhentikan 3% tenaga kerjanya berdasarkan "lingkungan ekonomi global yang menantang bagi perusahaan dari semua ukuran". 

Kemudian, CEO PayPal, Dan Schulman, menyampaikan keputusan perusahaannya untuk memberhentikan 2.000 pekerja karena "lingkungan ekonomi makro yang menantang."

Namun dalam banyak kasus, PHK di perusahaan-perusahaan tersebut bermuara pada keputusan nekat yang dibuat oleh para CEO. Seperti Mark Zuckerberg di perusahaan yang sebelumnya dikenal sebagai Facebook, yang mengizinkan perekrutan besar-besar saat pandemi dan menginvestasikan miliaran dolar ke dalam metaverse-nya. 

Ketika itu terlihat hasilnya kurang menggembirakan, mereka melakukan PHK terhadap 11.000 pekerja. Demikian pula Tobi Ltke di Shopify, yang memberhentikan 1.000 orang berdasarkan taruhan pada masa depan e-commerce yang "tidak membuahkan hasil".

Image: PHK besar-besaran bukan berarti bisnis bangkrut (by Merza Gamal)
Image: PHK besar-besaran bukan berarti bisnis bangkrut (by Merza Gamal)

Perusahaan-perusahaan tersebut telah membuat kesalahan strategis yang serius. PHK tidak akan memecahkan masalah, dan tidak akan tiba-tiba membuat perusahaan lebih produktif atau meningkatkan produk mereka. 

Banyak dari raksasa teknologi tersebut yang masih sangat menguntungkan, sehingga mempermasalahkan kondisi ekonomi untuk melakukan PHK saat ini dipertanyakan berbagai pihak. 

Keuntungan Microsoft memang turun 12% pada kuartal terakhir tahun 2022 dari kuartal yang sama pada tahun 2021, tetapi mereka masih menghasilkan $16,4 miliar.

Demikian pula dengan Amazon yang menarik laba $2,8 miliar pada kuartal terakhir. Memang laba tersebut di bawah belanja online tertinggi selama pandemi, tetapi sejalan dengan rata-rata historisnya. Walau perusahaan tetap menghasilkan laba, namun perusahaan tetap berbalik arah dan mem-PHK 18.000 pekerjanya.

Dari kejadian-kejadian di atas, tampaknya ketika keuntungan atau bahkan keuntungan yang diproyeksikan di masa depan turun sedikit, perusahaan memilih untuk memberhentikan ribuan orang. 

Tindakan tersebut secara optik menjadi pembenaran bagi perusahaan lain untuk mengikutinya. Pemutusan hubungan kerja tersebut seolah-olah menjadi cara alami bagi CEO untuk terlihat "disiplin" atau "bertanggung jawab" meskipun biaya yang brutal bagi para pekerja.

PHK sangat merugikan pekerja, bahkan pekerja teknologi bergaji tinggi. Orang-orang yang di-PHK menghadapi kerusakan karir jangka panjang dan membahayakan kesehatan mental dan fisik mereka. Berdasarkan studi, PHK memiliki nilai yang meragukan bagi perusahaan.

PHK adalah negatif bersih untuk produktivitas, bahwa mereka menekan inovasi, dan bahwa mereka dapat menyebabkan penurunan keuntungan jangka panjang. 

Studi lain juga menunjukkan bahwa PHK mempersulit hidup pekerja yang tidak diberhentikan, terutama karena banyak dari perusahaan ini mengurangi tunjangan dan layanan lain yang dapat membantu pekerja yang tersisa.

Perusahaan-perusahaan yang melakukan PHK padahal sebenarnya mereka tidak bangkrut, seharusnya menjadi prioritas utama CEO untuk menghindarinya dengan cara apa pun.

Beberapa perusahaan lain telah berhasil melakukan hal tersebut tanpa PHK. Misalnya, Apple telah berhasil memangkas biaya tanpa PHK sebagian dengan mengurangi gaji Tim Cook sebesar 40%, menjadi $49 juta. 

Meskipun hal tersebut tidak serta merta menjadikan perusahaan terpuji karena membayar CEO "hanya" $50 juta. 

Akan tetapi, ada sesuatu yang bisa dikatakan untuk CEO yang bersedia memangkas gaji mereka sendiri sebelum memutuskan untuk melepaskan pergi insan perusahaannya. 

Hal serupa juga dilakukan oleh CEO pembuat chip Intel dengan mengambil potongan gaji 25% dan mengurangi gaji tim eksekutifnya sebesar 15% untuk menghindari PHK yang luas.

Untuk perusahaan yang beralih ke pemutusan hubungan kerja, seharusnya kesalahan berada tepat di pundak CEO mereka. CEO, sebagai satu-satunya penanggung jawab, bertanggung jawab untuk salah dalam menilai ekonomi makro, melakukan investasi yang buruk, dan kemudian mengikuti industri dalam upaya sesaat untuk menyenangkan lantai bursa. 

Tidak seharusnya para CEO berfokus pada "ketidakpastian ekonomi yang lebih luas" dan menafikan bahwa PHK itu merupakan kesalahan manajemen eksekutif. Dan akhirnya, CEO tersebut dapat menyelamatkan reputasi mereka sambil menghindari kesalahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun