Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Misteri Bankir Kembar Antar Bangsa (Bagian ke-19)

13 Desember 2022   09:02 Diperbarui: 13 Desember 2022   09:06 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah sarapan selesai, kami pun segera beranjak dari ruang makan. Ketika kami sampai di ruang keluarga, dan mau meneruskan langkah ke depan untuk segera berangkat. Terlihat Papa mengambil dua kotak dari atas meja. Papa meminta aku dan Gustav untuk mendekat. Lalu Papa mengeluarkan jam tangan dari masing-masing kotak dan memakaikannya di tanganku dan tangan Gustav.

"Jam ini jangan dilepas ya, ini untuk mengingatkan kalian berdua pada saat sudah berjauhan nanti," kemudian Papa memeluk kami berdua.

Aku benar-benar kehabisan kata-kata. Mereka sudah benar-benar memperlakukan aku layaknya benar-benar anak kandung mereka. Sementara logikaku masih berpegang kepada cerita Ibu sejak aku kecil dan dokumen-dokumen tentang diriku.

Jam yang dipasangkan Papa ke lenganku dan Gustav, bukan jam sembarangan, tetapi limited edition dari sebuah jam tangan terkenal dunia (Rolex). Aku yang tidak terbiasa menggunakan top level branded apalagi limited edition, cukup kaget dengan pemberian Papa tersebut.

Ibu, walau pun seorang dokter internist yang cukup terkenal di Jakarta, tidak pernah membiasakanku membeli barang-barang top branded. Ketika masih sekolah dan kuliah, teman-temanku sibuk dengan barang-barang branded-nya. Aku dengan tenangnya menggunakan rancangan ibu bersama penjahitu langganan untuk bajuk yang terbuat dari batik dan berbagai tenunan Nusantara.

Kata Ibu, "Morgan harus bangga dengan produksi bangsa sendiri, ngak perlu branded-branded-an." Beberapa temanku ada yang suka meledek pakaian-pakaianku yang sebagian besar bukan barang brended. Tetapi aku cuek saja dengan ledekan mereka, karena dari kecil Ibu sudah sangat memperhatikan dan menyediakan pakaianku serta segala kelengkapannya. 

Sesampai di depan mobil yang akan membawa Aku dan Gustav ke Hotel tempat menginapnya peserta lain, sebelum aku masuk ke mobil, Mama menghambur ke arahku dan memelukku erat, terasa rembesan air mata Mama di pipiku, "Ich hoffe, Morgan kann mit Mama wieder vereint warden," bisik Mama di telingaku.

Aku pun segera melepaskan pelukan Mama, aku takut larut dalam perasaanku yang nanti bisa mengganggu mood selama perjalanan tugas ke Frankfurt. Lepas dari pelukan Mama, Papa pun memelukku erat,  dan Papa berkat, "Papa berharap, Morgan mau menerima tawaran Papa untuk melanjutkan kuliah Master di Jerman. Dan, Papa akan urus semuanya agar Morgan tidak perlu keluar dari Bank, tetapi Bank akan merasa dengan sekolahnya Morgan, program Kerjasama Bank dengan Pemerintah Jerman itu akan lebih terkelola dengan baik..."

Bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun