Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Misteri Bankir Kembar Antar Bangsa (Bagian ke-19)

13 Desember 2022   09:02 Diperbarui: 13 Desember 2022   09:06 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image: Misteri bankir kembar antar bangsa (Bagian ke-19) - Grafis olahan Merza Gamal

Makan malam pun usai sudah, kami pun pindah ke ruang keluarga melanjutkan perbincangan.

"Mama masih ingin lebih lama bersamamu, namun waktu terus berjalan. Semoga kita bisa segera bertemu lagi. Jika Morgan terima tawaran Papa untuk kuliah lagi di Jerman, tentu kita akan lebih sering bertemu." Mama masih menyinggung tawaran Papa di meja makan tadi.

"Morgan memang ada keinginan untuk kuliah Master Mama, namun Morgan masih harus mempertimbangkan berbagai hal Mama," jelasku kepada Mama.

"Mama yakin Ibumu tidak akan melarang. Ibumu seorang wanita yang hebat, tamatan sekolah kedokteran terkemuka di Jerman. Dia pasti ingin anak yang dibesarkan bisa lebih baik lagi masa depannya melalui pendidikan lanjutan," Mama menyampaikan keyakinannya bahwa Ibu pasti mengizinkanku untuk kuliah lagi.

"Ibumu seorang wanita tegar, setelah kehilangan suaminya, dia tidak mau menikah lagi untuk bisa membesarkan anak suaminya dengan penuh kasih sayang," aku tak menduga kata-kata itu keluar dari bibir Mama. Mama begitu yakin, bahwa aku adalah anak kandungnya yang dibesarkan oleh Ibu.

Aku diam, tak merespon kata-kata Mama. Bagaimana pun sampai saat ini aku tetap menganggap Ibu adalah Ibu kandungku sesuai dengan yang Ibu ceritakan kepadaku bahwa aku adalah anak kandungnya dari pernikahan Ibu dengan ayahku yang bernama Jatmiko Rachman saat mereka masih di Jerman. Dan kemudian aku lahir di Jakarta.

Memang, teleponku dengan Tante Nuniek pekan lalu telah menyingkap beberapa hal yang selama ini belum kudengar dari cerita Ibu langsung, yaitu ketika Ibu kembali dari Jerman, sudah membawa aku yang masih berumur sekitar dua tahun bersama suaminya yang keturunan Jerman.

Misteri ini memang ingin kuungkap saat aku telah kembali ke Jakarta, namun aku juga tidak mau terburu-buru. Apa pun yang terjadi, aku akan tetap mencintai Ibu yang telah membesarkanku dengan segala pengorbanannya. Aku hanya ingin tahu jati diriku yang sebenarnya.

Mama berdiri dari sofa dan membuka laci di bawah TV. Mama terlihat mengambil beberapa  bungkusan. "Ini kado Mama untuk Ibu. Di dalamnya sebuah syal yang Mama rajut sendiri. Mama sangat berterimakasih kepada Ibu yang penuh kasih sayang membesarkan Morgan," ujar Mama sambil menyerahkan bungkusan itu kepadaku.

Lalu Mama mengambil satu bungkusan lagi, "ini untuk Morgan, Warme Kleidung (pakaian hangat rajutan benang wol), yang juga Mama rajut untuk Morgan dan Gustav," kata Mama sambil mengeluarkan dua pakaian hangat tersebut.  Aku pun menerimanya dengan perasaan haru. Mama benar-benar seorang ibu rumah tangga yang rajin melakukan berbagai hal sebagaimana layaknya seorang Ibu.

Selama aku di Stuttgart, berbagai macam masakan Mama telah aku santap. Mama juga rajin merajut yang sudah jarang dilakukan ibu-ibu era 80-90'an.

Gustav membuka lipatan baju hangat tersebut dan memakainya, serta menyorongkan satu lagi kepadaku untuk kupakai. Mama terlihat senyum Bahagia, Aku dan Gustav memakai pakaian kembar, "kalian, benar-benar anak kembar Mama yang Mama rindukan," ujar Mama.

Papa pun mengambil tustel, dan memotret kami berdua dengan pakaian kembar tersebut. Lalu Papa memasang tustel tersebut pada tripod, dan kami pun berphoto berempat.

Hari sudah mulai larut malam, kami pun bubar. Besok pagi aku dan Gustav harus berangkat ke Hotel untuk berkumpul dengan Cheon, Nguyen, Joong, dan Gonzales untuk bersama melanjutkan perjalanan ke Frankfurt.

Di kamar, aku pun menyiapkan pakaian dan barang-barangku ke koper untuk dibawa besok pagi ke Frankfurt. Aku pun mengambil wudhu, lalu membaca beberapa halaman Al Quran dan sedikit berdzikir sebelum merebahkan diri di ranjang.

Pagi pun menjelang, seperti biasa aku pun bangun dan mandi kemudian wudhu dan shalat subuh. Setelah selesai semuanya, aku pun keluar kamar membawa barang-barangku. Bersamaan aku keluar dari kamar, Gustav juga keluar dari kamarnya. Dan, kami pun turun ke lantai bawah.

Ternyata di bawah Mama sudah menunggu kami untuk sarapan. Setelah meletakkan barang-barang yang akan kami bawa ke ruang depan. Driver pun mengemasi barang kami untuk dimasukkan ke dalam mobil keluarga Gustav yang akan mengantarkan kami ke hotel. Dari hotel, kami bersama peserta dari empat negara lain akan menggunakan minivan yang disediakan oleh Deutsche Bank selama kami magang di Jerman.

Kami pun ke ruang makan, Papa ikut menyusul ke ruang makan. Di meja makan, sebagaimana biasa, tersedia berbagai macam hidangan. Pagi itu ada Mandelwaffeln, Eierkuchen (pancake tipis), dan Bauernomelett (omelet yang terbuat dari kentang dan bumbu yang ditumis, lalu disiram dengan telur serta susu).

Aku mengambil mandelwaffeln dan kubawa kepiring di hadapanku dan kutambahkan siraman madu di atasnya, lalu setelah habis kusantap, aku pun mengambil sepotong eierkuchen. Ketika aku menutup garpu dan pisau rotiku, Mama pun berseru, "bauernomelett belum dimakan."

"Sudah kenyang Mama, nanti tidak nyaman jika terlalu kenyang di perjalanan," elakku ketika Mama mau mengambilkan sepiring omelet itu untukku.

"Mama juga sudah siapkan bread dan bakery untuk dimakan selama perjalanan di mobil," Mama benar-benar seorang Ibu rumahtangga yang menyiapkan segala sesuatu untuk keluarganya. Padahal, dari cerita-cerita yang kudengar, biasanya anak-anak Eropa jika sudah besar tidak lagi bersama orangtuanya. Akan tetapi selama aku di sini, aku melihat hubungan kekeluargaan mereka tidak seperti yang digambarkan banyak orang.

Setelah sarapan selesai, kami pun segera beranjak dari ruang makan. Ketika kami sampai di ruang keluarga, dan mau meneruskan langkah ke depan untuk segera berangkat. Terlihat Papa mengambil dua kotak dari atas meja. Papa meminta aku dan Gustav untuk mendekat. Lalu Papa mengeluarkan jam tangan dari masing-masing kotak dan memakaikannya di tanganku dan tangan Gustav.

"Jam ini jangan dilepas ya, ini untuk mengingatkan kalian berdua pada saat sudah berjauhan nanti," kemudian Papa memeluk kami berdua.

Aku benar-benar kehabisan kata-kata. Mereka sudah benar-benar memperlakukan aku layaknya benar-benar anak kandung mereka. Sementara logikaku masih berpegang kepada cerita Ibu sejak aku kecil dan dokumen-dokumen tentang diriku.

Jam yang dipasangkan Papa ke lenganku dan Gustav, bukan jam sembarangan, tetapi limited edition dari sebuah jam tangan terkenal dunia (Rolex). Aku yang tidak terbiasa menggunakan top level branded apalagi limited edition, cukup kaget dengan pemberian Papa tersebut.

Ibu, walau pun seorang dokter internist yang cukup terkenal di Jakarta, tidak pernah membiasakanku membeli barang-barang top branded. Ketika masih sekolah dan kuliah, teman-temanku sibuk dengan barang-barang branded-nya. Aku dengan tenangnya menggunakan rancangan ibu bersama penjahitu langganan untuk bajuk yang terbuat dari batik dan berbagai tenunan Nusantara.

Kata Ibu, "Morgan harus bangga dengan produksi bangsa sendiri, ngak perlu branded-branded-an." Beberapa temanku ada yang suka meledek pakaian-pakaianku yang sebagian besar bukan barang brended. Tetapi aku cuek saja dengan ledekan mereka, karena dari kecil Ibu sudah sangat memperhatikan dan menyediakan pakaianku serta segala kelengkapannya. 

Sesampai di depan mobil yang akan membawa Aku dan Gustav ke Hotel tempat menginapnya peserta lain, sebelum aku masuk ke mobil, Mama menghambur ke arahku dan memelukku erat, terasa rembesan air mata Mama di pipiku, "Ich hoffe, Morgan kann mit Mama wieder vereint warden," bisik Mama di telingaku.

Aku pun segera melepaskan pelukan Mama, aku takut larut dalam perasaanku yang nanti bisa mengganggu mood selama perjalanan tugas ke Frankfurt. Lepas dari pelukan Mama, Papa pun memelukku erat,  dan Papa berkat, "Papa berharap, Morgan mau menerima tawaran Papa untuk melanjutkan kuliah Master di Jerman. Dan, Papa akan urus semuanya agar Morgan tidak perlu keluar dari Bank, tetapi Bank akan merasa dengan sekolahnya Morgan, program Kerjasama Bank dengan Pemerintah Jerman itu akan lebih terkelola dengan baik..."

Bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun