Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Apa Pun yang Terjadi, Indonesia Tanah Airku (Bagian ke-12)

3 Desember 2022   07:24 Diperbarui: 3 Desember 2022   08:03 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image: Apa Pun yang Terjadi, Indonesia Tanah Airku (Bagian ke-12) - Dokpri

Makan siang hari ini suasananya sudah jauh berbeda dengan suasana makan malam sebelumnya. Jika makan malam kemarin penuh keheningan dengan membawa perasaan yang berkecamuk di hati masing-masing, maka makan siang ini sudah penuh suasana ceria yang di tingkahi gelak tawa dan suka cita penuh canda. Sering terdengar celutukan antara Papa dan Gustav yang diselingi rengekan manja Vera.

Mereka ternyata begitu kompak satu sama lain, dan terlihat saling sayang menyayangi. Pantas saja Papa jika ke Frankfurt lebih senang menginap di apartement Gustav daripada menginap di hotel yang disediakan perusahaan. Papa Gustav ternyata seorang yang penting dalam sebuah korporasi mobil buatan Jerman terkenal di dunia, dan saat ini Papa masih menjabat sebagai seorang direktur salah satu subsidiary korporasi tersebut.

Makan siang pun usai sudah, dan aku pamit untuk ke kamar. Aku mau shalat dzuhur dan menjamak azhar sebagaimana yang selalu aku lakukan jika aku sedang di luar kota. Papa bilang kepadaku jangan lupa nanti nonton TV bersamanya menyaksikan laga Stuttgart dengan FC Cologne di Bundesliga 1991. Kata Papa, sayangnya Stuttgart sedang bertandang ke kandang lawan di kota Koln. "Jika pertandingannya di sini pasti Papa akan ajak Morgan nonton di  Neckarstadion (sejak tahun 1993 berubah nama menjadi Gottlieb-Daimler-Stadion setelah direnovasi)," jelas Papa.

"Dan Morgan pasti duduk di VVIP karena Papa penguasa stadionnya... he...eh...hhe...." Gustav menyambar kata-kata Papa sambil tertawa.

"Baik Papa, Morgan akan temani Papa nonton pertandingan Stuttgart di Bundesliga nanti sore," sahutku.

Sejujurnya, aku terkesima dengan Papa, ayah sambung Gustav, yang begitu penuh perhatian kepada keluarga. Tidak terlihat jika Gustav adalah anak sambung dari istrinya yang Papa nikahi. Perhatiannya kepada Gustav tidak berbeda dengan perhatiannya kepada Vera anak kandungnya sendiri. Dan saat ini pun dia memberikan perhatian kepadaku seolah-olah aku memang saudara kembarnya Gustav.

Bagiku yang tidak merasakan kasih sayang seorang Ayah setelah aku berusia lima tahun, tentu perhatian Papa itu mejadi sesuatu bagiku. Jika aku sedang berkunjung ke rumah Pakde Tjokro pun, aku tidak pernah diperhatikan seperti perhatian Papa Gustav kepadaku. Hubungan persaudaraanku dan Ibu dengan keluarga Pakde Tjokro terlihat agak formal. Malah lebih cair hubunganku dengan Om Ninok, suami Tante Nuniek. Padahal Pakde Tjokro adalah kakak kandung Ibu, sementara Om Ninok hanyalah suami Tante Nuniek yang adalah saudara sepupu Ibu, bukan saudara kandung Ibu.

Sesampai di kamar, aku pun bebersih diri di kamar mandi dan mengambil wudhu untuk shalat. Selesai shalat, sedikit berdzikir dan ditutup dengan doa, aku pun rebahan sebentar. Awalnya aku mau tidur siang sekitar satu jam, tapi mataku tidak bisa terpejam. Lalu aku bangkit dan keluar kamar. Mumpung lagi pada istirahat aku mau keliling rumah keluarga Gustav, dan mau menikmati suasana taman yang sepertinya menarik untuk dinikmati.

Ketika aku turun ke bawah, ternyata ada Mama dan Gustav lagi duduk berdua di ruang keluarga. Aku pun mereka panggil untuk ikut duduk bersama mereka, dan akhirnya aku tidak jadi ke taman.

Mama memintaku duduk di sebelah kanannya dan Gustav berada di sebelah kiri Mama. Mama memegang ujung tanganku dan mengusap-usapnya dengan lembut. Aku pun jadi teringat Ibu di Jakarta. Jika sedang duduk-duduk berdua bersama Ibu, aku pun suka memijat-mijat tangan ibu, lalu berdiri memijat-mijat pundak Ibu, serta terakhir duduk di bawah memijat kaki ibu yang duduk di sofa.

Tanpa sadar, aku pun melakukan hal serupa kepada Mama. Gustav memperhatikan dengan seksama apa yang kulakukan. Terlihat wajah Mama begitu suka cita kuperlakukan seperti itu. "Au, Morgan ist wirklich ein Kind, das seine Eltern liebt. Mama ist sehr gerhrt von deinem Sohn," ujar Mama kepadaku. Walau pun aku tak mengerti sepenuhnya apa yang diucapkan Mama, tapi aku merasakan bahwa Mama sedang memujiku dengan rasa sayang seorang ibu.

"Ehm, Mama sudah ketemu anaknya yang satu, lupa dah sama anaknya yang lain," canda Gustav menanggapi kata-kata Mama.

Kata-kata demi kata mengalir, dan kemudian tanpa disadari muncul cerita tentang Papa. "Kalian berdua sangat mirip dengan Ayah kalian," ujar Mama.

Aku menjadi penasaran, dan teringat kata-kata Tante Nuniek ditelepon tadi bahwa aku sangat mirip Ayah dan tidak menyisakan raut wajah Ibu sedikitpun di wajahku.

Rasa penasaranku membuatku bertanya kepada Mama, "ketika Mama mencari saudara kembar Gustav dan tidak bertemu karena Ayah Gustav sudah tidak lagi di Heidelberg University, apakah Mama tidak mencari di keluarga Ayah Gustav?" Gustav menterjemahkan apa yang aku tanyakan kepada Mama dalam Bahasa Jerman agar Mama benar-benar mengerti dengan pertanyaanku.

Mama bercerita, bahwa Ayah Gustav, tidak punya keluarga lagi. Kedua orangtua Ayah Gustav telah meninggal saat perang dunia kedua. Orangtua Ayah Gustav tinggal provinsi Neumark di wilayah Timur Jerman. Ketika beberapa provinsi Jerman dikuasai oleh Soviet dan Polandia sekitar tahun 1939, sekitar 9 juta warga Jerman yang ada di wilayah timur diusir termasuk keluarga Ayah Gustav. Mereka mengungsi ke Berlin. Dalam pengungsian, kedua orangtuanya meninggal, dan Ayah Gustav menjadi yatim piatu saat masih kanak-kanak, dan kemudian di asuh oleh panti asuhan.

Pada menjelang akhir perang dunia kedua, tahun 1945, Berlin diserbu oleh tentara sekutu hinga kota Berlin lulu lantak. Ayah Gustav yang ketika itu baru tamat sekolah dasar bersama beberapa anak panti asuhan dibawa ke Heidelberg, dan melanjutkan sekolah menengah di sana hingga masuk Fakultas Kedokteran Heidelberg.

Oh, jadi Ayah Gustav adalah anak yatim piatu yang diasuh oleh panti asuhan. Pantas jika dia tidak memiliki keluarga.

Mama pun melanjutkan ceritanya, Mama bertemu Ayah Gustav pertama kali  di tahun 1962, saat Mama menjadi murid kelas terakhir sekolah menengah keperawatan. Saat itu, Ayah Gustav selaku dokter muda, sedang ditugaskan untuk membantu pendidikan medis di sekolah tersebut. Selanjutnya hubungan itu terjalin jadi hubungan cinta. Tak lama setelah Mama lulus sekolah menengah keperawatan di tahun 1963, mereka pun menikah, hingga tidak sampai setahun kemudian lahirlah Gustav dan Morgen, bayi kembar lelaki mereka pada tanggal 28 Juni 1964.

Ayah Gustav dan Morgen sangat sibuk, jarang di rumah, bahkan sering menginap di rumah sakit karena sibuk di lab selain sibuk sebagai dokter yang baru menyelesaikan pendidikan spesialis penyakit dalam. Mama merasa sendiri dan terbebani dengan mengasuh dua bayi kembar itu. Sementara, Mama lihat teman-teman seangkatannya sedang menikmati hari-hari mereka dengan riang gembira tanpa beban.

Merasa Ayah Gustav seperti tidak peduli dengan keluhan Mama, tetap saja sibuk dengan segala kegiatannya, membuat Mama berpikiran pendek, kabur ke rumah orangtua Mama di Stuttgart. Tak lama Ayah Gustav menyusul Mama  ke Stuttgart dan mengajak kembali ke Heidelberg, tapi Mama tidak mau, malah minta diceraikan, tak berapa lama kemudian mereka benar-benar bercerai.

Saat Ayah dan Mama  Gustav bercerai, bayi kembar itu baru berumur 3 bulan. Mereka pun membagi bayi tersebut, Gustav tinggal bersama Mama, dan Morgen dibawa oleh Ayahnya ke Heidelberg. Setelah itu Mama seakan lega dengan hanya mengasuh satu anak, dan seakan tidak peduli dengan Morgen yang sudah dibawa oleh Ayahnya.

Setahun setelah bercerai, Mama pun menjalin hubungan cinta dengan Papa. Setelah berpacaran selama satu tahun, kemudian mereka pun menikah. Beberapa tahun setelah menikah, baru mereka dikaruniakan bayi perempuan, yaitu Vera saat Gustav telah berusia lima tahun.  

Ketika Vera berulangtahun pertama, tiba-tiba Mama merasa kehilangan sesuatu, yaitu perasaan menyesal telah mengabaikan satu anak kandungnya. Kemudian Mama menceritakan perasaannya kepada Papa. Lantas, Papa pun mengajak Mama untuk mencari jejak Morgen dan Ayahnya. Ketika mereka menghubungi Universitas dan Rumah Sakit tempat Ayah Gustav dan Morgen bertugas, ternyata sudah tidak ada lagi di sana sejak tahun 1967. Keterangan yang mereka peroleh, Ayah Gustav telah pindah ke luar negeri.

Setelah mendengar kisah yang diuraikan Mama dengan bantuan terjemahan dari Gustav, aku menjadi semakin penasaran dengan almarhum Ayahku. Tadi di telepon Tante Nuniek bilang bahwa Ayah adalah keturunan Jerman, tapi di dokumen-dokumen yang pernah aku lihat saat mengurus kuliahku dulu, almarhum Ayah adalah seorang warganegara Indonesia beragama Islam.

Oh, aku ingin segera menyelidikinya, dan ingin kembali menelepon Tante Nuniek. Namun, aku juga segan dengan keluarga Gustav jika langsung menelepon hari ini, meski tadi Papa sudah bilang jika perlu telepon gunakan saja sesukaku. Apalagi jika menelpon sekarang, di Jakarta sudah hampir jam 11 malam.

Tiba-tiba, kami bertiga dikejutkan oleh kehadiran Papa, dan langsung mengajak aku dan Gustav untuk ikut menonton laga Stuttgart dengan FC Cologne yang diselenggarakan di Koln melalui siaran langsung TV.

Saat menonton pertandingan Bundesliga di TV, berbagai makanan kecil terhidang di meja di di theatre room rumah itu. Aku lihat ada brownies dan black forest kesukaanku yang sering dibuatkan Ibu saat akhir pekan jika kami berdua di rumah. Aku mencoba menikmati laga bola tersebut, sambil masih penasaran dengan siapa Ayahku setelah mendengar cerita Mama.

Pertandingan pun usai sudah dengan kedudukan imbang 1-1 untuk Stuttgart dan FC Cologne. Terlihat Papa agak kecewa karena Stuttgart tidak bisa menang, padahal seharusnya sedikit lagi Stuttgart bisa menang menurut Papa.

Kemudian kami pun beranjak dari theatre room, Mama dan Vera sudah menunggu di ruang makan untuk diner. Aku pun ikut menuju ruang makan, dan kembali penasaran untuk ingin segera tahu siapa almarhum Ayahku sebenarnya dan mencocokkannya dengan cerita Mama.

Ibu tidak pernah bercerita apa-apa tentang latar belakang Ayah, selain mengatakan Ayah adalah seniornya di Fakultas Kedokteran, kemudian mereka menikah di Jerman, dan pulang ke Indonesia.  Ayah  menjadi dokter sukarelawan untuk penanggulangan malaria di berbagai pelosok negeri Indonesia, dan Ibu menjadi dokter di rumah sakit pemerintah di Jakarta.

Aku harus segera mencari tahu untuk menghilangkan rasa penasaranku terhadap siapa aku sebenarnya.

Bersambung...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun