Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Apa Pun yang Terjadi, Indonesia Tanah Airku (Bagian ke-5)

25 November 2022   05:51 Diperbarui: 25 November 2022   07:10 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rasa lelahku setelah perjalanan panjang dari Singapore membuatku langsung terlelap ketika menghenyakkan diriku di ranjang. Aku dengar suara Gustav yang duduk di sebelahku, membangunkanku. Ketika mataku terbuka, kulihat di jendela hari sudah gelap, "mari kita makan malam, masakan Vera sudah siap disantap," sambut Gustav. Dan, kulihat Vera pun memasuki kamar, ikut mengajakku keluar kamar untuk makan malam bersama.

Kami bertiga pun makan bersama-sama, menikmati masakan Vera. Di meja telah tersedia satu pirex besar berisi pasta dan semangkuk saus bolognaise, serta sepiring besar daging steak lengkap dengan pure kentang dan sayuran pendampingnya. Biasanya orang Jerman makan steak pasti didampingi dengan bier. Ketika aku tanyakan ke Gustav mana biernya. Dia pun berkata, "aku menghormati keyakinan saudaraku untuk tidak minum bier bersamanya."

Aku pun menjadi terharu dengan toleransi yang dilakukan oleh Gustav. Aku pun segera mencicipi masakan Vera. Rasanya seperti spaghetti di Resto Italia di Jakarta, dan steaknya mirip dengan yang sering kusantap di  Bruhaus Jakarta bersama Ibu. Tiba-tiba aku ingat Ibu, aku belum meneleponnya sesampaiku di Frankfurt.

Lalu kukatakan kepada Gustav, aku mau menelepon Ibuku dan menanyakan dimana kantor telepon terdekat. "Selesai makan, aku antar kamu ke bawah. Di lobby ada bilik telepon. Morgan bisa menelepon di sana," terang Gustav kepadaku.

Setelah kami selesai menikmati masakan Vera yang ternyata sedap, kami pun turun ke bawah. Kata Gustav, selesai aku menelepon, kami akan minum Ice Cream asli Jerman dicampur kopi yang enak  dekat apartment.

Jam menunjukkan pukul 11 malam, berarti di Jakarta sudah subuh. Ibu biasanya sebelum azan subuh sudah bangun dan shalat subuh sambil membaca Al Quran hingga matahari terbit. Sampai di bawah, aku pun langsung masuk bilik telepon, dan menelepon ke rumah di Jakarta. Terdengar suara ibu di kejauhan, "Alhamdulillah Morgan telepon, Ibu sudah menunggu dari kemaren sore," suara Ibu penuh kerinduan. "Morgan sehat dan ngak lelah kan?" lanjut Ibu yang selalu memperhatikanku selayaknya anak kecil sedari dulu.

Aku bercerita kepada Ibu, besok aku masih istirahat, sebelum Senin mulai ke kantor dan meneruskan perjalanan untuk melihat dan mempelajari proyek-proyek rehabilitasi lingkungan di beberapa kota. Aku pun bercerita disambut adiknya Gustav di Airport dan dari hotel aku langsung dibawa ke apartment Gustav.

Terdengar Ibu menghela nafas panjang. "Morgan anakku, jangan terpengaruh dengan mereka. Morgan anak Ibu dan satu-satunya milik Ibu yang berharga di dunia ini," suara Ibu pun terdengar mulai lirih.

"Ngak mungkinlah Ibu. Morgan hanya ingin menyenangkan hati mereka yang kehilangan Saudara kembar Gustav," sahutku berusaha menenangkan Ibu. "Bukankah Ibu, mengajarkan Morgan untuk selalu berbuat baik dan menyenangkan hati semua orang?" lanjutku.

"Benar Morgan, tapi Ibu takut kehilanganmu," suara Ibu semakin lirih. "Ibu, jika aku memang anak kandung Ibu, mengapa Ibu harus takut kehilanganku...?", tanpa sadar kata-kata itu terlontar dari mulutku. "Morgan, kamu benar-benar anakku dari Ayahmu. Aku hanya takut kehilangan kamu," terdengar isakan Ibu di seberang. Aku pun tidak tahan mendengarkan suara itu.

Setelah percakapan telepon selesai, dan Ibu masih terdengar menahan isak tangisnya ketika meletakkan gagang teleponnya. Aku semakin bimbang antara percaya sepenuhnya dengan omongan Ibu selama ini dengan ikatan batin yang semakin kurasakan dekat dengan Gustav. Aku selalu membunuh perasaan batin itu, dan terkadang aku ingin menjauh dari Gustav. Tetapi setiap dia bermohon, aku langsung luluh dengan semua permintaannya untuk selalu dekat dengannya selama di Singapore. Dan, sekarang kedekatan itu bersambung di Jerman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun