Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Apa Pun yang Terjadi, Indonesia Tanah Airku (Bagian ke-5)

25 November 2022   05:51 Diperbarui: 25 November 2022   07:10 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image: Apa Pun yang Terjadi, Indonesia Tanah Airku (Bagian ke-5)  Dokpri

Setelah keluar pemeriksaan imigrasi, pengambilan bagasi dan pemeriksaan bea cukai, kami pun keluar dari Airport. Di pintu kedatangan, terlihat seorang gadis bule melambai-lambaikan tangan ke arah kami. Aku pikir, gadis itu pastilah pacarnya Gustav, karena adik Gustav kuliah kedokteran di Heidelberg.

Ternyata dugaanku salah, gadis itu benar adiknya Gustav yang sengaja datang ke Frankfurt dari Heidelberg untuk menyambut Gustav dan aku. Sesampai di luar, gadis itu memeluk Gustav sebentar, dan kemudian langsung memelukku erat-erat, sambil berucap, "Gott liebt mich sehr, hat mich zu meinem Bruder gebracht." Aku pun bengong, dan gadis itu menyadari bahwa aku tidak bisa berbahasa Jerman, ia pun melanjutkan kata-katanya dalam Bahasa Ingris, "I love you so much Brother Morgan. If Mother were here, surely she would be very happy to see you."

Aku tidak bisa berbahasa Jerman, meski pun sering mendengar Ibu bercakap-cakap berbahasa Jerman, terutama dengan kolega ibu para dokter yang sebaya atau lebih tua dari Ibu. Dengan demikian, ada beberapa kata Jerman yang cukup akrab di telingaku. Aku tak tahu mengapa Ibu tidak mengajarkan bahasa Jerman kepadaku, seperti orangtua temanku yang belajar di luar negeri yang mengajarkan anaknya juga berbahasa negara mereka kuliah dulu.

Kami pun dijemput oleh pihak Deutsche Bank dengan sebuah mobil van untuk diantarkan ke hotel tempat kami menginap. Sebelum ke hotel, kami diajak terlebih dahulu makan siang di sebuah resto yang tidak jauh dari Airport. Adik Gustav, Alviria (biasa dipanggil Vera), ikut dengan mobil yang kami tumpangi. Tadi,  Vera ke Airport menggunakan kendaraan umum.

Sesampai di hotel, Gustav dengan gesitnya mengatur kamar kami masing-masing dan dia menguruskan semua administrasi kami di resepsionis hotel. Gustav menerangkan jika waktu makan bisa ke resto yang ada di hotel, dan semua sudah ditanggung oleh pihak Deutsche Bank.

Setelah menerima kunci kamar kami masing-masing, kami pun menuju lift untuk ke kamar. Gustav dan Vera terus mengikutiku ke kamar. Aku berharap Gustav dan adiknya segera pergi karena aku ingin istirahat dan tidur sampai malam membalas kepenatanku selama seharian duduk di  dalam pesawat.

Sesampai di kamar, Gustav bilang padaku untuk mengikuti dia bersama adiknya ke Apartment-nya yang tidak jauh dari Hotel tempat aku menginap. Aku berusaha menolak dengan mengatakan aku ingin istirahat dulu. Tapi dia mengajak aku istirahat di apartemennya saja, nanti Vera akan memasakkan spaghetti dan steak untukku.

"Jangan kecewakan kami selama kamu di Jerman. Walaupun kamu belum mengakui kami sebagai saudaramu, tapi kami sangat mencintaimu dan akan terus mencintaimu," suara Gustav yang lirih dan pandangan Vera yang penuh harap membuat aku luluh untuk tidak mengecewakan mereka. Aku pikir, apalah salahnya membahagiakan orang yang telah kehilangan saudaranya yang mirip denganku.

Aku izin dulu pada Gustav dan Vera untuk bersih-bersih dan mandi, kemudian menjamak sholat dzuhur dan azhar untuk siang ini. Vera penuh takjud melihat aku shalat di kamar itu, "You are truly a religious man, my brother," desisnya. Aku agak terkesima, karena aku merasa selama ini aku bukan seorang yang religious. Shalat dan ibadah lainnya masih seadanya dan selalu mencari ibadah yang paling mudah. Shalatku pun masih banyak bolongnya.

Sesampainya kami di apartmen Gustav, aku pun disuruh untuk beristirahat. "Morgan, kamu tidur saja di kamarku, kamar tamu digunakan Vera." Di kamar Gustav, tersedia medium double bed. Di ruang umum, ada sofa dan meja makan. Ada pula dapur dan kamar mandi di luar. Apartment Gustav cukup besar untuk dihuni sendiri. Setahuku biasanya seorang bujangan hanya menggunakan apartment type studio, tapi apartment Gustav terdiri dari dua kamar tidur dan dua kamar mandi lengkap dengan ruang tamu dan dapur.

Rasa lelahku setelah perjalanan panjang dari Singapore membuatku langsung terlelap ketika menghenyakkan diriku di ranjang. Aku dengar suara Gustav yang duduk di sebelahku, membangunkanku. Ketika mataku terbuka, kulihat di jendela hari sudah gelap, "mari kita makan malam, masakan Vera sudah siap disantap," sambut Gustav. Dan, kulihat Vera pun memasuki kamar, ikut mengajakku keluar kamar untuk makan malam bersama.

Kami bertiga pun makan bersama-sama, menikmati masakan Vera. Di meja telah tersedia satu pirex besar berisi pasta dan semangkuk saus bolognaise, serta sepiring besar daging steak lengkap dengan pure kentang dan sayuran pendampingnya. Biasanya orang Jerman makan steak pasti didampingi dengan bier. Ketika aku tanyakan ke Gustav mana biernya. Dia pun berkata, "aku menghormati keyakinan saudaraku untuk tidak minum bier bersamanya."

Aku pun menjadi terharu dengan toleransi yang dilakukan oleh Gustav. Aku pun segera mencicipi masakan Vera. Rasanya seperti spaghetti di Resto Italia di Jakarta, dan steaknya mirip dengan yang sering kusantap di  Bruhaus Jakarta bersama Ibu. Tiba-tiba aku ingat Ibu, aku belum meneleponnya sesampaiku di Frankfurt.

Lalu kukatakan kepada Gustav, aku mau menelepon Ibuku dan menanyakan dimana kantor telepon terdekat. "Selesai makan, aku antar kamu ke bawah. Di lobby ada bilik telepon. Morgan bisa menelepon di sana," terang Gustav kepadaku.

Setelah kami selesai menikmati masakan Vera yang ternyata sedap, kami pun turun ke bawah. Kata Gustav, selesai aku menelepon, kami akan minum Ice Cream asli Jerman dicampur kopi yang enak  dekat apartment.

Jam menunjukkan pukul 11 malam, berarti di Jakarta sudah subuh. Ibu biasanya sebelum azan subuh sudah bangun dan shalat subuh sambil membaca Al Quran hingga matahari terbit. Sampai di bawah, aku pun langsung masuk bilik telepon, dan menelepon ke rumah di Jakarta. Terdengar suara ibu di kejauhan, "Alhamdulillah Morgan telepon, Ibu sudah menunggu dari kemaren sore," suara Ibu penuh kerinduan. "Morgan sehat dan ngak lelah kan?" lanjut Ibu yang selalu memperhatikanku selayaknya anak kecil sedari dulu.

Aku bercerita kepada Ibu, besok aku masih istirahat, sebelum Senin mulai ke kantor dan meneruskan perjalanan untuk melihat dan mempelajari proyek-proyek rehabilitasi lingkungan di beberapa kota. Aku pun bercerita disambut adiknya Gustav di Airport dan dari hotel aku langsung dibawa ke apartment Gustav.

Terdengar Ibu menghela nafas panjang. "Morgan anakku, jangan terpengaruh dengan mereka. Morgan anak Ibu dan satu-satunya milik Ibu yang berharga di dunia ini," suara Ibu pun terdengar mulai lirih.

"Ngak mungkinlah Ibu. Morgan hanya ingin menyenangkan hati mereka yang kehilangan Saudara kembar Gustav," sahutku berusaha menenangkan Ibu. "Bukankah Ibu, mengajarkan Morgan untuk selalu berbuat baik dan menyenangkan hati semua orang?" lanjutku.

"Benar Morgan, tapi Ibu takut kehilanganmu," suara Ibu semakin lirih. "Ibu, jika aku memang anak kandung Ibu, mengapa Ibu harus takut kehilanganku...?", tanpa sadar kata-kata itu terlontar dari mulutku. "Morgan, kamu benar-benar anakku dari Ayahmu. Aku hanya takut kehilangan kamu," terdengar isakan Ibu di seberang. Aku pun tidak tahan mendengarkan suara itu.

Setelah percakapan telepon selesai, dan Ibu masih terdengar menahan isak tangisnya ketika meletakkan gagang teleponnya. Aku semakin bimbang antara percaya sepenuhnya dengan omongan Ibu selama ini dengan ikatan batin yang semakin kurasakan dekat dengan Gustav. Aku selalu membunuh perasaan batin itu, dan terkadang aku ingin menjauh dari Gustav. Tetapi setiap dia bermohon, aku langsung luluh dengan semua permintaannya untuk selalu dekat dengannya selama di Singapore. Dan, sekarang kedekatan itu bersambung di Jerman.

Keluar dari bilik telepon, Gustav dan Vera pun menyambutku. Mereka langsung menggamitku menuju lokasi untuk minum Ice Cream campur kopi Jerman yang mereka sampaikan saat makan di atas tadi. Kami bertiga pun menikmati Ice Cream unik pada saat itu. Vera banyak bercerita tentang tempat kuliahnya, yang dulu menurut Ibunya juga kampus Ayah Gustav sekolah dan menjadi dosen di sana. Gustav malah kuliah administrasi bisnis di tempat yang sama dengan kampus ayah sambungnya. Selain itu, Gustav juga mengambil kelasa parallel di bidang Manajemen Lingkungan.

Seharian dengan Gustav dan Vera membuat aku merasakan seperti benar-benar sedang bersama abang dan adikku yang telah lama tidak bertemu. Selama ini aku merasakan sebagai anak tungggal. Dan, menghabiskan akhir pekan bersama Ibu jika Ibu tidak ada jadwal harus operasi di akhir pekan. Malam sepulang dari rumah sakit dan habis praktek, Ibu akan menemaniku belajar dan menyelesaikan PR.

Selesai menikmati Ice Cream malam, kami pun berjalan menuju apartment Gustav. Sesampai di teras apartment, aku mau melanjutkan jalan ke hotelku yang tak berapa jauh lagi. Tapi tangan Gustav  menahanku, "Morgan, kamu tidur di sini saja bersama kami di sini, menghabiskan akhir pekan, sebelum Senin pagi kita ke kantor." Vera pun menahan tanganku yang sebelah lagi.

Entah mengapa aku pun tak melakukan perlawanan apapun, seperti kerbau yang dicocok lubang hidungnya, aku pun mengikuti Gustav dan Vera ke dalam apartment.

Bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun