Mengapa harta terasa kurang terus padahal kerja terus-terusan, penghasilan pun lumayan, bahkan sangat besar?
Mengapa hati lebih banyak resah, gelisah dan takutnya daripada tenang dan tenteramnya, padahal hiburan mudah didapatkan?
Mengapa hidup terasa sibuk sampai istirahat pun susah, ibadah pun sulit dijalankan, dan keluarga terabaikan, padahal jadwal dan target sudah diatur sedemikian rupa?
Boleh jadi, semua ini terjadi karena hilangnya keberkahan dalam hidup kita, dalam pekerjaan kita, dalam harta kita dan aktivitas harian kita.Â
Jangan biarkan hari-hari kita diisi dengan ratapan keluh kesah, sumpah serapah, hujatan dan cacian. Â Kita menganggap segala nikmatNya seolah merupakan hal biasa karena setiap kita bangun pagi dari lelap tidur dalam kenyamanan, dan baru hal tersebut terasa betapa sangat berharga di saat Allah, Sang Maha Pencipta telah mengambilnya dari kita.
Mari kita renungkan, ada orang di sekitar kita yang menunggu pagi, hanya untuk dicuci ginjalnya, dan ada yang tengah dirawat di ruang ICCU untuk bernafas dengan bantuan ventilator. Ada pula orang di sekitar kita yang menunggu pagi, hanya untuk mengambil dan menebus obatnya. Ada juga orang di sekitar kita di pagi hari menggigil karena tidak punya tempat berteduh. Bahkan ada juga orang di sekitar kita yang pagi harinya tidak mendapatkan apapun untuk dimakan.
Ingatlah, semua itu terjadi karena Allah mempergilirkan musibah dan nikmat, kesempitan dan kelapangan, kesedihan dan kegembiraan, kegagalan dan kesuksesan, kemiskinan dan kekayaan, kekalahan dan kemenangan dalam bioritme kehidupan kita.
Semua itu diberlakukan untuk mendinamisasi kehidupan, agar kita bisa belajar dari pengalaman hidup dan merasakan beragamnya keadaan. Dengan demikian, kita bisa menjadi pribadi yang matang, tangguh dan tegar di atas nilai-nilai kebenaran, bagaimanapun keadaannya.
Sesuai iradah (kehendak) Allah, pada saat gagal kita bisa mengetahui bagaimana rasa kegagalan dan bagaimana menyikapi kegagalan. Demikian pula saat mendapatkan kesuksesan, agar Allah dapat membedakan orang-orang yang beriman.Â
Saat mendapat kekalahan, kita bisa mendapatkan banyak pelajaran dan menunjukkan akhlak kita saat mendapat kekalahan. Saat mendapat kemenangan, kita bisa menunjukkan akhlak kita sebagai pemenang, di samping mendapat banyak pelajaran kehidupan.
Gagal dan sukses, kalah dan menang sudah menjadi iradah-Nya dalam kehidupan. Namun, yang paling penting tetap berada di jalur yang benar dan tidak menyimpang dari ajaran-ajaran agama baik saat kalah atau menang, saat gagal atau sukses.
Dengan demikian, semua keadaan yang kita alami menjadi kebaikan bagi kita. Hal itulah keunggulan yang membedakan kita sebagai dari orang yang menomorsatukan dunia, sedangkan akhirat dinomorduakan.Â
Mereka mati-matian mengejar kenikmatan dunia. Â sedangkan ridha Allah diabaikan. Kadar ketergantungan mereka kepada Allah pun semakin berkurang, semangat ibadah semakin melemah, ingatan akan mati dan kehidupan setelah mati pun semakin memudar.
Keadaan seperti mereka itu, dikatakan oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam Al-Fawa'id adalah, "Semakin cinta manusia terhadap dunia semakin malas dari ketaatan dan amal akhirat sesuai dengan kadarnya."
Apabila kondisi ini dibiarkan tanpa pengobatan dan perbaikan, niscaya akan berlakulah kepadanya apa yang disampaikan Rasulullah SAW, "Siapa menjadikan dunia sebagai ambisi terbesarnya, niscaya Allah akan cerai beraikan urusannya. Allah jadikan kefakiran di depan matanya, dan dia tidak mendapatkan dunia kecuali sesuai dengan apa yang telah ditetapkan baginya." (HR Ahmad)
Wallahua'lam bishowab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H