Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Apakah Quiet Quitting Itu Nyata? (Hasil Kajian Gallup Workplace)

7 September 2022   08:40 Diperbarui: 7 September 2022   08:54 1739
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image: Apakah Quiet Quitting itu Nyata? (by Merza Gamal)

Beberapa pekan terakhir "Quiet Quitting" menjadi viral di Tiktok. Pengguna TikTok dapat menemukan hampir 4 juta tampilan dan sejumlah besar video dengan tema yang sama dengan mencari 'Quiet Quitting' di TikTok.

Kemudian media internasional pun membahas tentang fenomena "Quite Quiting" tersebut dari berbagai sudut pandang.  Belum ditemukan definisi tunggal dari istilah 'quiet quitting' yang tengah ramai jadi pembahasan di kalangan para pekerja millennial dan Gen Z saat ini. Bagi sebagian orang, 'quiet quitting' berarti menetapkan batasan dan tidak melakukan pekerjaan tambahan; sementara bagi yang lain, 'quiet quitting' berarti tidak ambisius.

Namun demikian, sebagian besar setuju bahwa 'quiet quitting' tidak berarti Anda meninggalkan pekerjaan. Quiet Quitting menekankan pentingnya keseimbangan kehidupan kerja. Mode terbaru berfokus pada tidak berlebihan di tempat kerja, dan hanya berfokus pada tugas inti dari posisi tersebut.

Pada Kompasiana, tanggal 31 Agustus 2022, Kakek Merza seorang transisiator Baby Boomer-Gen X menulis artkel "Memaknai 'Quite Quitting' pada Kalangan Pekerja Gen Z". Kemudian keesokan harinya muncullah beberapa millennium dan Gen Z menulis topik yang sama, dan semuanya menjadi Headline (Artikel Utama) oleh Admin Kompasiana.

Quite quitting menarik perhatian jutaan orang. Apa artinya? Dan bagaimana pengaruhnya terhadap organisasi?

Sebagai pelanggan Gallup at Work dari Gallup, Inc. (yang merupakan perusahaan konsultasi manajemen kinerja global asal Amerika Serikat yang didirikan oleh George Gallup pada tahun 1935 dan dikenal karena jajak pendapat publik yang dilakukan dan digunakan di seluruh dunia oleh perusahaan mutinasional), pada tanggal 6 September 2022, Kakek Merza menerima email yang salah satunya membahas tentang hasil Kajian Gallup Workplace tentang "Is Quiet Quitting Real?". (Apakah Quite Quitting Itu Nyata?)

Image: Apakah Quiet Quitting itu Nyata? (by Merza Gamal)
Image: Apakah Quiet Quitting itu Nyata? (by Merza Gamal)

Menurut Kajian Gallup Workplace, kecenderungan untuk berhenti secara diam-diam (quiet quitting) yang menyebar secara viral di media sosial bahwa jutaan orang tidak bekerja terlalu keras dan hanya memenuhi deskripsi pekerjaan mereka, bisa menjadi lebih buruk. 

Masalah ini timbul karena sebagian besar pekerjaan saat ini memerlukan beberapa tingkat upaya ekstra untuk berkolaborasi dengan rekan kerja dan memenuhi kebutuhan pelanggan.

Sehubungan dengan itu, Gallup melakukan survei secara acak pada 15.091 karyawan penuh dan paruh waktu berusia 18 tahun ke atas, yang disurvei pada Juni 2022 di Amerika Serikat. 

Menurut Kajian Gallup, engagement karyawan mengalami langkah mundur selama kuartal kedua tahun 2022, dengan proporsi pekerja yang engaged (terlibat) tetap berada di 32%, tetapi proporsi yang non engaged (secara aktif tidak terlibat) meningkat menjadi 18%. Rasio karyawan yang engaged dan non engaded saat ini adalah 1,8 berbanding 1, terendah dalam hampir satu dekade.

Penurunan engagement dimulai pada paruh kedua tahun 2021 dan bersamaan dengan meningkatnya pengunduran diri masal selama Pandemi Covid-19. Penurunan engagement terbesar terjadi pada level Manajer.

Penurunan engagement karyawan terjadi terutama terkait dengan kejelasan harapan, kesempatan untuk belajar dan tumbuh, merasa diperhatikan, dan hubungan dengan misi atau tujuan organisasi yang menandakan semakin terputusnya hubungan antara karyawan dan majikan mereka.

Karyawan yang tidak terlibat secara aktif (non engaged) cenderung memiliki sebagian besar kebutuhan tempat kerja mereka tidak terpenuhi dan menyebarkan ketidakpuasan mereka. Mereka telah menjadi yang paling vokal di postingan TikTok yang telah menghasilkan jutaan tampilan dan komentar. Dan mereka telah mencari pekerjaan lain.

Dalam survei Gallup, ditemukan penurunan dalam engagement dan satisfaction (kepuasan) terhadap majikan di antara Gen Z dan milenium yang lebih muda yang berusia di bawah 35 tahun.

Kondisi tersebut merupakan perubahan yang signifikan dari tahun-tahun sebelum pandemi. Sejak pandemi, pekerja yang lebih muda merasa kurang diperhatikan dan kurang memiliki kesempatan untuk berkembang secara signifikan terutama dari manajer mereka.

Beberapa hasil survei Gallup menunjukkan keuntungan karyawan muda (Gen Z dan Millenium yang berumur di bawah 35 tahun) sebagian besar telah hilang, sebagaimana data di bawah ini:

  • Persentase karyawan yang engaged di bawah usia 35 turun enam poin persentase dari 2019 hingga 2022. Dan pada saat yang sama, persentase karyawan yang tidak aktif secara aktif meningkat enam poin.
  • Pekerja yang lebih muda telah kehilangan 10 poin atau lebih dalam persentase yang sangat setuju bahwa seseorang peduli pada mereka, seseorang mendorong perkembangan mereka, dan mereka memiliki kesempatan untuk belajar dan tumbuh.
  • Pekerja muda yang sepenuhnya kerja dari rumah dan/ atau kerja secara hybrid turun 12 poin dalam persetujuan kuat bahwa seseorang mendorong perkembangan mereka.
  • Dan hal yang mengkhawatirkan adalah kurang dari empat dari 10 karyawan muda yang bekerja jarak jauh atau hybrid yang dengan jelas mengetahui apa yang diharapkan dari mereka di tempat kerja.

Jelas bahwa berhenti secara diam-diam (quiet quitting) adalah gejala manajemen yang buruk. Lantas, bagaimana memecahkan krisis tersebut berhenti dengan tenang?

Hal pertama yang harus dilakukan oleh para eksekutif perusahaan adalah menangani keterlibatan manajer. Perlu disadari bahwa hanya satu dari tiga manajer yang engaged di tempat kerja saat ini. Kepemimpinan senior perlu melatih kembali manajer untuk menang di lingkungan hybrid baru. 

Manajer harus belajar bagaimana melakukan percakapan untuk membantu karyawan mengurangi keterputusan dan kelelahan. Hanya manajer yang berada dalam posisinya yang dapat mengenal karyawan sebagai individu, terkait dengan situasi hidup, kekuatan, dan tujuan mereka.

Gallup menemukan bahwa persyaratan dan kebiasaan terbaik untuk dikembangkan bagi manajer yang sukses adalah melakukan satu percakapan yang bermakna per minggu dengan setiap anggota tim selama 15-30 menit.

Manajer perlu menciptakan akuntabilitas untuk kinerja individu, kolaborasi tim, dan nilai pelanggan. Karyawan sebagai insan perusahaan harus melihat bagaimana pekerjaan mereka berkontribusi pada tujuan organisasi yang lebih besar. Keputusan tentang tempat orang bekerja , baik itu di tempat (kantor), jarak jauh (dari rumah), atau jadwal gabungan (hybrid), harus mempertimbangkan faktor-faktor tersebut. 

Hal yang penting menjadi perhatian adalah bahwa setiap organisasi membutuhkan budaya di mana orang-orang terlibat (engaged) dan merasa mereka menjadi bagiannya.

MERZA GAMAL 

  • Pengkaji Sosial Ekonomi Islami
  • Author of Change Management & Cultural Transformation
  • Former AVP Corporate Culture at Biggest Bank Syariah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun