Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Berpengalaman di dunia perbankan sejak tahun 1990. Mendalami change management dan cultural transformation. Menjadi konsultan di beberapa perusahaan. Siap membantu dan mendampingi penyusunan Rancang Bangun Master Program Transformasi Corporate Culture dan mendampingi pelaksanaan internalisasi shared values dan implementasi culture.

Selanjutnya

Tutup

Tradisi Artikel Utama

Tradisi "Bakumpua Basamo Bako" Saat Hari Raya yang Hampir Hilang di Minangkabau

23 April 2022   20:53 Diperbarui: 24 April 2022   04:00 3033
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Minangkabau menganut sistem kekerabatan matrilineal, yakni alur keturunan yang berasal dari pihak ibu. 

Oleh sebab itu, pihak keluarga ayah tidak terlalu terlibat atau berperan dalam kegiatan yang dilaksanakan dalam lingkungan keluarga anak pusako-nya. 

Seluruh keluarga dari pihak ayah disebut sebagai "bako". Pria yang dilahirkan dari pihak bako yang menikah dengan wanita dari suku lain diistilahkan dengan anak pusako/anak pisang/anak ujung emas.

Menurut ketentuan adat, ada empat kegiatan dalam kehidupan anak pusako yang akan dilakukan secara khusus oleh pihak bako. 

Pertama, dalam kegiatan turun mandi atau memotong rambut anak pusako setelah dilahirkan, lalu saat pernikahan (babako-babaki), setelah itu saat pengangkatan menjadi penghulu (pria), serta saat kematiannya.

Masyarakat Minang dikenal sebagai perantau yang menyebar ke seluruh pelosok negeri Indonesia, bahkan tidak sedikit menjadi diaspora di berbagai belahan dunia. 

Ada hal yang menarik dari perantau Minang ini, yaitu pulang basamo, terutama dijadwalkan di bulan Ramadhan menjelang Idul Fitri dan berhari raya bersama di kampung halaman.

Oleh karena adat Minangkabau memakai garis keturunan matrilineal, maka tentu saja mereka pulang ke rumah gadang suku ibunya, bukan ke rumah gadang ayah mereka. 

Biasanya, dalam pulang basamo itu ada pula tradisi "bakumpua basamo" di rumah bako (rumah gadang pihak ayah). 

Saat itu akan berkumpul anak-keturunan dari pihak ayah kakak beradik dan sepupunya yang menikah dengan wanita dari berbagai suku.

Namun, karena beberapa dekade belakangan para perantau Minang tersebut banyak yang sudah menikah dengan pasangan di luar orang Minang, maka tradisi "bakumpua basamo bako" pun sudah jarang terdengar.

Dalam tulisan ini, saya menyertakan foto kenangan dari keluarga Ibu saya saat "bakumpua basomo bako" dalam suasana hari raya Idul Fitri tahun 1957 di Tapih Sungai Koto Gadih, Limokaum, Batusangkar. 

Dalam foto tersebut terlihat ketiga adik Ibu saya yang masih belum menikah saat itu. Abang saya yang tertua juga ikut dalam foto tersebut. Abang saya tersebut sudah meninggal dunia tahun 2019 yang lalu. Ibu saya sendiri tidak ada di foto itu, karena saat itu sedang hamil kakak saya yang keempat dan mengasuh 2 abang saya yang lain yang masih kecil dan bayi. Saya sendiri anak ke sembilan dari 10 bersaudara, belum lahir saat itu.

Image: Saya ikutan Bakumpua Basamo di Tigo Tumpuak tahun 1974 (by Merza Gamal)
Image: Saya ikutan Bakumpua Basamo di Tigo Tumpuak tahun 1974 (by Merza Gamal)

Ketika saya masih kecil, masih sempat merasakan "bakumpua basamo bako" dalam suasana hari Raya Idul Fitri di rumah nenek dari pihak ayah di Batusangkar. 

Di sana kami akan makan besar dengan segala lauk pauk yang enak-enak, antara lain asam padeh daging, randang baluik, gulai anyang, itiak lado mudo. Setelah nenek saya dari pihak ayah meninggal dunia, maka tradisi itu pun hilang perlahan-lahan.

Image: Bakumpua Basamo anak cucu Ayah-Ibu saya terakhir di Hari Raya tahun 2007 di Pekanbaru (by Merza Gamal)
Image: Bakumpua Basamo anak cucu Ayah-Ibu saya terakhir di Hari Raya tahun 2007 di Pekanbaru (by Merza Gamal)

Ketika ayah dan ibu saya masih ada, maka acara "bakumpua basamo bako' bagi anak-anak dan keponakan-keponakan saya pindah ke Pekanbaru, apalagi keluarga dari pihak ibu saya memang hampir semua ada di Pekanbaru. 

Ibu saya meninggal dunia tahun 2008 dan disusul ayah saya tahun 2012, maka 'bakumpua basamo bako" di Pekanbaru pun tak ada lagi.

Saat ini, banyak anak-keturunan Minang, apalagi yang di rantau orang, tidak mengenal tradisi-tradisi yang ada dalam kekerabatan keluarga Minangkabau. 

Jika ada pun pulang basamo, hanya sekedar berkumpul bersama di rumah keluarga ibu/ayah mereka yang keturunan Minang. Tidak ada lagi acara "bakumpua basamo bako" karena biasanya pasangan ayah/ibunya bukan lagi orang Minang apalagi sekampung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun