Minangkabau menganut sistem kekerabatan matrilineal, yakni alur keturunan yang berasal dari pihak ibu.Â
Oleh sebab itu, pihak keluarga ayah tidak terlalu terlibat atau berperan dalam kegiatan yang dilaksanakan dalam lingkungan keluarga anak pusako-nya.Â
Seluruh keluarga dari pihak ayah disebut sebagai "bako". Pria yang dilahirkan dari pihak bako yang menikah dengan wanita dari suku lain diistilahkan dengan anak pusako/anak pisang/anak ujung emas.
Menurut ketentuan adat, ada empat kegiatan dalam kehidupan anak pusako yang akan dilakukan secara khusus oleh pihak bako.Â
Pertama, dalam kegiatan turun mandi atau memotong rambut anak pusako setelah dilahirkan, lalu saat pernikahan (babako-babaki), setelah itu saat pengangkatan menjadi penghulu (pria), serta saat kematiannya.
Masyarakat Minang dikenal sebagai perantau yang menyebar ke seluruh pelosok negeri Indonesia, bahkan tidak sedikit menjadi diaspora di berbagai belahan dunia.Â
Ada hal yang menarik dari perantau Minang ini, yaitu pulang basamo, terutama dijadwalkan di bulan Ramadhan menjelang Idul Fitri dan berhari raya bersama di kampung halaman.
Oleh karena adat Minangkabau memakai garis keturunan matrilineal, maka tentu saja mereka pulang ke rumah gadang suku ibunya, bukan ke rumah gadang ayah mereka.Â
Biasanya, dalam pulang basamo itu ada pula tradisi "bakumpua basamo" di rumah bako (rumah gadang pihak ayah).Â
Saat itu akan berkumpul anak-keturunan dari pihak ayah kakak beradik dan sepupunya yang menikah dengan wanita dari berbagai suku.
Namun, karena beberapa dekade belakangan para perantau Minang tersebut banyak yang sudah menikah dengan pasangan di luar orang Minang, maka tradisi "bakumpua basamo bako" pun sudah jarang terdengar.
Dalam tulisan ini, saya menyertakan foto kenangan dari keluarga Ibu saya saat "bakumpua basomo bako" dalam suasana hari raya Idul Fitri tahun 1957 di Tapih Sungai Koto Gadih, Limokaum, Batusangkar.Â
Dalam foto tersebut terlihat ketiga adik Ibu saya yang masih belum menikah saat itu. Abang saya yang tertua juga ikut dalam foto tersebut. Abang saya tersebut sudah meninggal dunia tahun 2019 yang lalu. Ibu saya sendiri tidak ada di foto itu, karena saat itu sedang hamil kakak saya yang keempat dan mengasuh 2 abang saya yang lain yang masih kecil dan bayi. Saya sendiri anak ke sembilan dari 10 bersaudara, belum lahir saat itu.
Ketika saya masih kecil, masih sempat merasakan "bakumpua basamo bako" dalam suasana hari Raya Idul Fitri di rumah nenek dari pihak ayah di Batusangkar.Â
Di sana kami akan makan besar dengan segala lauk pauk yang enak-enak, antara lain asam padeh daging, randang baluik, gulai anyang, itiak lado mudo. Setelah nenek saya dari pihak ayah meninggal dunia, maka tradisi itu pun hilang perlahan-lahan.
Ketika ayah dan ibu saya masih ada, maka acara "bakumpua basamo bako' bagi anak-anak dan keponakan-keponakan saya pindah ke Pekanbaru, apalagi keluarga dari pihak ibu saya memang hampir semua ada di Pekanbaru.Â
Ibu saya meninggal dunia tahun 2008 dan disusul ayah saya tahun 2012, maka 'bakumpua basamo bako" di Pekanbaru pun tak ada lagi.
Saat ini, banyak anak-keturunan Minang, apalagi yang di rantau orang, tidak mengenal tradisi-tradisi yang ada dalam kekerabatan keluarga Minangkabau.Â
Jika ada pun pulang basamo, hanya sekedar berkumpul bersama di rumah keluarga ibu/ayah mereka yang keturunan Minang. Tidak ada lagi acara "bakumpua basamo bako" karena biasanya pasangan ayah/ibunya bukan lagi orang Minang apalagi sekampung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H