Namun, karena beberapa dekade belakangan para perantau Minang tersebut banyak yang sudah menikah dengan pasangan di luar orang Minang, maka tradisi "bakumpua basamo bako" pun sudah jarang terdengar.
Dalam tulisan ini, saya menyertakan foto kenangan dari keluarga Ibu saya saat "bakumpua basomo bako" dalam suasana hari raya Idul Fitri tahun 1957 di Tapih Sungai Koto Gadih, Limokaum, Batusangkar.Â
Dalam foto tersebut terlihat ketiga adik Ibu saya yang masih belum menikah saat itu. Abang saya yang tertua juga ikut dalam foto tersebut. Abang saya tersebut sudah meninggal dunia tahun 2019 yang lalu. Ibu saya sendiri tidak ada di foto itu, karena saat itu sedang hamil kakak saya yang keempat dan mengasuh 2 abang saya yang lain yang masih kecil dan bayi. Saya sendiri anak ke sembilan dari 10 bersaudara, belum lahir saat itu.
Ketika saya masih kecil, masih sempat merasakan "bakumpua basamo bako" dalam suasana hari Raya Idul Fitri di rumah nenek dari pihak ayah di Batusangkar.Â
Di sana kami akan makan besar dengan segala lauk pauk yang enak-enak, antara lain asam padeh daging, randang baluik, gulai anyang, itiak lado mudo. Setelah nenek saya dari pihak ayah meninggal dunia, maka tradisi itu pun hilang perlahan-lahan.
Ketika ayah dan ibu saya masih ada, maka acara "bakumpua basamo bako' bagi anak-anak dan keponakan-keponakan saya pindah ke Pekanbaru, apalagi keluarga dari pihak ibu saya memang hampir semua ada di Pekanbaru.Â
Ibu saya meninggal dunia tahun 2008 dan disusul ayah saya tahun 2012, maka 'bakumpua basamo bako" di Pekanbaru pun tak ada lagi.
Saat ini, banyak anak-keturunan Minang, apalagi yang di rantau orang, tidak mengenal tradisi-tradisi yang ada dalam kekerabatan keluarga Minangkabau.Â
Jika ada pun pulang basamo, hanya sekedar berkumpul bersama di rumah keluarga ibu/ayah mereka yang keturunan Minang. Tidak ada lagi acara "bakumpua basamo bako" karena biasanya pasangan ayah/ibunya bukan lagi orang Minang apalagi sekampung.