Sesampainya buruh-buruh ini di Sawahlunto, mereka dikirim ke penjara orang rantai yang khusus dibuat oleh Belanda untuk para buruh paksa (orang rantai). Mereka bekerja membuka lubang tambang Soegar dengan kaki yang dirantai, makanan seadanya, dan upah kecil. Namun tenaga mereka dikuras untuk menyelesaikan konstruksi lubang tambang
Setelah lubang tambang selesai dibuka dengan 2 buah lubang angin (ventilasi udara) maka Belanda mulai melakukan eksploitasi batubara atau 'emas hitam' yang sangat berkualitas itu. Jumlah produksi batubara yang dihasilkan oleh orang rantai pada tahun 1892 sebanyak 48.000 ton. Kemudian dengan adanya lubang Soegar ini produksi batubara meningkat menjadi 196.207 ton pada tahun 1900. Hal ini membuktikan keberadaan lubang Soegar sangat berpengaruh pada produksi batubara.
Meningkatkanya produksi batubara juga mendatangkan penderitaan bagi buruh paksa. Nasib mereka sangat menyedihkan, rata-rata tiga kali setahun buruh paksa atau orang rantai mendapat hukuman cambuk. Selain perkelahian diantara sesama buruh untuk memperebutkan barang-barang langka seperti rokok dan uang yang menimbulkan tidak sedikit korban jiwa. Kejadian ini dibiarkan oleh mandor tambang dengan syarat jumlah produksi tidak kurang dari 6 ton per shift setiap kelompok.
Pada awal abad ke-20 orang Belanda mendatangkan mandor dari Jawa. Salah satunya Mbah Soerono yang lebih akrab dipanggil Mbah Soero. Mbah Soero diangkat menjadi mandor oleh Kolonial Belanda karena ilmu kebatinan yang dimilikinya. Ia ditugaskan untuk mengawasi penambangan di Lubang Soegar ini.
Dalam kesehariannya, Mbah Soero dikenal sangat rajin bekerja, berperilaku baik dan taat beribadah.Selanjutnya lubang ini ditutup pada tahun 1920-an karena adanya perembesan air dari Batang Lunto dan kadar gas metana yang terus meningkat. Kemudian pada tahun 2007, bekas tambang kembali dibenahi, salah satunya Lubang Soegar.