Insan perusahaan mendapatkan banyak dari kebutuhan sosial dan emosional mereka terpenuhi dalam perusahaan, dan terdapat rasa komunitas dan persahabatan pribadi.Â
Namun, potensi krisis sering muncul ketika organisasi tumbuh. Hal tersebut akhirnya menghadapi dirinya dengan kebutuhan untuk menekankan struktur dan prosedur standar untuk mengendalikan tanggung jawab yang berkembang. Diperlukan keteraturan dan kepastian, sehingga terjadi pergeseran ke budaya hierarki.
Reorientasi itu sering membuat insan perusahaan merasa bahwa organisasi telah kehilangan perasaan ramah, pribadi yang pernah menjadi ciri tempat kerja, dan kepuasan pribadi menurun.Â
Orientasi hierarki pada akhirnya ditambah dengan fokus pada budaya pasar yang  memiliki daya saing, pencapaian hasil, dan penekanan pada hubungan eksternal. Fokus bergeser dari impersonalitas dan kontrol formal di dalam organisasi ke orientasi pelanggan dan kompetisi di luar organisasi.
Akhirnya perusahaan yang matang dan sangat efektif cenderung mengembangkan sub unit atau segmen yang mewakili masing-masing dari keempat jenis budaya ini.Â
Litbang misalnya bersifat adhokratis, sedangkan akuntansi mungkin hierarkis dalam penekanan budaya. Namun, hampir selalu, satu atau lebih jenis budaya mendominasi suatu organisasi.
Perubahan budaya seringkali terjadi dalam pola yang kurang dapat diprediksi. Perubahan budaya dalam perusahaan yang sustainable competitive advantage dan efektif umumnya dikelola secara sadar dan terencana.Â
Dengan demikian perusahaan akan mampu bertahan dan tetap memimpin dalam segala kondisi dan krisis yang terjadi, termasuk krisis pandemi Covid-19.
Penulis:Â MERZA GAMALÂ
- Pengkaji Sosial Ekonomi Islami
- Author of Change Management & Cultural Transformation
- Former AVP Corporate Culture at Biggest Bank Syariah
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI