Mohon tunggu...
I Ketut Merta Mupu
I Ketut Merta Mupu Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Pendamping Sosial PKH Kementerian Sosial RI

Alumni UNHI. Lelaki sederhana dan blak-blakan. Youtube : Merta Mupu Ngoceh https://youtube.com/@Merta_Mupu_Ngoceh

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hutang Orang Tua Meninggal Wajib Dibayar Anak Cucu

19 Juli 2015   12:49 Diperbarui: 19 Juli 2015   12:49 2064
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Anak Cucu Wajib Membayar Warisan Hutang"][/caption]

Waktu hari raya Galungan, aku diminta kakek untuk mengantarkannya ke desa tetangga, katanya ada urusan penting. Aku mencoba mempertanyakan maksud dan tujuannya. Ternyata kakek ingin menagih piutang kepada seseorang yang tinggal di desa seberang.

Yang membuat aku kaget, ternyata piutang itu telah lama. Piutang itu sudah ada semasih ayah kakek masih hidup (kumpi atau buyut aku, sebut saja A), dengan kata lain ada seseorang (sebut saja si B) memiliki hutang kepada buyutku (ayahnya kakek atau kakek ayahku). A dan B sudah meninggal dulu. Waktu masih hidup, piutang yang dimiliki A sudah sering mau ditagih ke B, tetapi selalu ditunda, sampai ayahku sudah dewasa, dan piutang itu tetap belum dibayar.

Proses terjadinya piutang itu menurutku cukup menggelikan. Kakekku yang sudah berumur sekira 80 tahun, menjelaskan proses terjadinya piutang itu: dahulu ada yang membuat isu bahwa danau Batur akan meluap, akan terjadi banjir besar, dan akan menenggelamkan desa Songan, desaku yang berada di kawasan danau Batur, lembah kaldera Batur. Masyarakat lalu berbondong-bondong mencari tanah di daerah yang lebih tinggi, yaitu di desa Pinggan. Konon, pada waktu itu tanah di desa Pinggan sangat baik kualitasnya, sehingga harganya mahal.

Untuk mensiasati hal tersebut, buyutku menggadai tanah di sana seharga 600 perak (kira-kira seharga 8 ekor sapi jantan), katanya luas tanahnya hampir satu hektar. Karena tak terjadi apa-apa, tidak terjadi banjir maka tanah itu dibiarkan dan akhirnya diambil kembali oleh si B (pemilik) akan tetapi uang gadai tidak dikembalikan. Jadilah Si B punya hutang pada buyutku, piutang itu sering ditagih sama buyutku sampai diteruskan oleh kakekku, tapi tak jua piutang itu dikembalikan, padahal sudah diberi keringanan dari 600 perak menjadi 200 perak (kalau diuangkan sekarang sekira 40 juta).

Tanah yang ditanami berbagai tanaman pertanian itu, sering hasil panennya diberikan kepada kakek oleh keluarga si B. Hingga kakekku bosan datang kesana karena tak pernah ada hasil, piutang tak jua dikembalikan hingga tanahnya dijual. Padahal untuk ke desa itu berjalan kaki seharian (pulang-pergi), maklum waktu itu tak ada motor.

Sudah puluhan tahun berlalu, piutang itu kembali mau diurus sama kakekku. Jaman sekarang, rasanya aneh kalau mau menagih piutang tanpa ada bukti. Aku bingung juga akan ajakan kakekku untuk menagih piutang tanpa bukti. Tapi menurut kakekku, piutang itu harus diberitahu ke anak cucu si B, agar mereka tahu. Tujuannya agar anak cucu si B tidak menderita di kemudian hari akibat buyutnya memiliki hutang kepada keluarga kakek atau keluargaku. Istilahnya ‘’ngrudeg” atau “Ngroda”, yang maknanya akan menciptakan penderitaan bagi anak cucu si B (almarhum). Kata ngroda ini berasal dari kata Kroda yang artinya marah.

Setelah dijelaskan seperti itu aku jadi setuju dengan tujuan baik kakekku. Karena pada hakekatnya; apabila seseorang memiliki hutang maka harus dibayar walaupun tanpa ada bukti seperti aturan sekarang. Selain itu, apabila seseorang meninggal dan meninggalkan hutang, maka anak cucunya menerima warisan berupa hutang yang harus dibayar.

Kakekku juga menjelaskan bahwa kakek tidak akan menagih piutang sebanyak piutang yang sebenarnya, maunya hanya simbolik saja; yaitu seharga satu ekor sapi muda; kira-kira seharga 5 juta. Tujuannya bukan ingin mendapatkan uangnya tetapi untuk menyelamatkan anak cucu si B dari penderitaan akibat piutang itu. Karena piutang dulu itu tenget; bisa menciptakan penderitaan bagi anak cucunya kalau tak dibayar.

Banyak terjadi kasus seperti itu; dimana seseorang harus membuat upacara tertentu akibat buyutnya dulu punya hutang terhadap seseorang, akibatnya, anak cucu hidup dalam kesusahan, sulit mendapat rezeki. Untuk mengatasi hal tersebut, biasanya mengembalikan hutang dengan simbolik disertai upacara, bahwa seseorang telah mengembalikan hutangnya, meski tak sebanyak hutang sebenarnya.

Menurut cerita kakek, sudah berulang kali terjadi hal yang serupa. Dulu, kakek punya tanah di sana-sini, tapi sering dicurangi oleh orang lain; dan orang yang mencurangi pada akhirnya anak cucunya menderita.

Tanah kakek saat ini tinggal beberapa hektar saja. Dan keberadaannya pun ada di berbagai tempat, berbeda banjar atau dusun. Ada di banjar Ulundanu, banjar Buluh, dan paling banyak ada di banjar Kayuselem yang sudah menjadi milik anak-anaknya.

Kembali ke cerita; Saat aku mengantar kakek ke tujuan, yang alamatnya tak aku ketahui, sempat nyasar juga. Tapi hebatnya, kakek masih ingat bentuk rumah bersangkutan. Sampai disana aku bingung mau bilang apa, karena orang yang dicari sudah meninggal lama. Yang ada di sana keponakan dan cucu menantu si B (istri dari cucu laki-laki si B. bingung menyebutnya).

Mereka pun bingung. Tetapi setelah diceritakan, mereka mulai tahu. Dan bersyukur saat itu, ada nenek-nenek yang sudah tua. Dan mengenal kakekku. Nenek itu pun membenarkan apa yang diceritakan kakek. Mereka pun sedih kalau ternyata kakeknya dulu punya hutang. Tetapi mereka tak bisa berbuat apa, karena kehidupan keluarganya hidup pas-pasan (aku gak mau menyebutnya miskin).

Keadaan keluarga mereka seperti itu, entah kebetulan atau tidak; mungkin ada sangkut pautnya dengan piutang itu. Jadi kalau kita memiliki warisan hutang dari orang tua, sebaiknya dibayar untuk menghindari penderitaan yang berkepanjangan pada anak cucu. Dan juga jangan sampai kita mati meninggalkan hutang. Tak ada salahnya belajar dari tradisi.

 

NB: Dari cerita kakek, aku jadi tahu alasan kenapa banyak orang Songan yang tinggal di desa Pinggan. Bahkan lucunya, beberapa banjar di desa Pinggan menjadi bagian dari desa Songan. Ternyata termakan isu atau ramalan palsu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun