[caption caption="Anak Cucu Wajib Membayar Warisan Hutang"][/caption]
Waktu hari raya Galungan, aku diminta kakek untuk mengantarkannya ke desa tetangga, katanya ada urusan penting. Aku mencoba mempertanyakan maksud dan tujuannya. Ternyata kakek ingin menagih piutang kepada seseorang yang tinggal di desa seberang.
Yang membuat aku kaget, ternyata piutang itu telah lama. Piutang itu sudah ada semasih ayah kakek masih hidup (kumpi atau buyut aku, sebut saja A), dengan kata lain ada seseorang (sebut saja si B) memiliki hutang kepada buyutku (ayahnya kakek atau kakek ayahku). A dan B sudah meninggal dulu. Waktu masih hidup, piutang yang dimiliki A sudah sering mau ditagih ke B, tetapi selalu ditunda, sampai ayahku sudah dewasa, dan piutang itu tetap belum dibayar.
Proses terjadinya piutang itu menurutku cukup menggelikan. Kakekku yang sudah berumur sekira 80 tahun, menjelaskan proses terjadinya piutang itu: dahulu ada yang membuat isu bahwa danau Batur akan meluap, akan terjadi banjir besar, dan akan menenggelamkan desa Songan, desaku yang berada di kawasan danau Batur, lembah kaldera Batur. Masyarakat lalu berbondong-bondong mencari tanah di daerah yang lebih tinggi, yaitu di desa Pinggan. Konon, pada waktu itu tanah di desa Pinggan sangat baik kualitasnya, sehingga harganya mahal.
Untuk mensiasati hal tersebut, buyutku menggadai tanah di sana seharga 600 perak (kira-kira seharga 8 ekor sapi jantan), katanya luas tanahnya hampir satu hektar. Karena tak terjadi apa-apa, tidak terjadi banjir maka tanah itu dibiarkan dan akhirnya diambil kembali oleh si B (pemilik) akan tetapi uang gadai tidak dikembalikan. Jadilah Si B punya hutang pada buyutku, piutang itu sering ditagih sama buyutku sampai diteruskan oleh kakekku, tapi tak jua piutang itu dikembalikan, padahal sudah diberi keringanan dari 600 perak menjadi 200 perak (kalau diuangkan sekarang sekira 40 juta).
Tanah yang ditanami berbagai tanaman pertanian itu, sering hasil panennya diberikan kepada kakek oleh keluarga si B. Hingga kakekku bosan datang kesana karena tak pernah ada hasil, piutang tak jua dikembalikan hingga tanahnya dijual. Padahal untuk ke desa itu berjalan kaki seharian (pulang-pergi), maklum waktu itu tak ada motor.
Sudah puluhan tahun berlalu, piutang itu kembali mau diurus sama kakekku. Jaman sekarang, rasanya aneh kalau mau menagih piutang tanpa ada bukti. Aku bingung juga akan ajakan kakekku untuk menagih piutang tanpa bukti. Tapi menurut kakekku, piutang itu harus diberitahu ke anak cucu si B, agar mereka tahu. Tujuannya agar anak cucu si B tidak menderita di kemudian hari akibat buyutnya memiliki hutang kepada keluarga kakek atau keluargaku. Istilahnya ‘’ngrudeg” atau “Ngroda”, yang maknanya akan menciptakan penderitaan bagi anak cucu si B (almarhum). Kata ngroda ini berasal dari kata Kroda yang artinya marah.
Setelah dijelaskan seperti itu aku jadi setuju dengan tujuan baik kakekku. Karena pada hakekatnya; apabila seseorang memiliki hutang maka harus dibayar walaupun tanpa ada bukti seperti aturan sekarang. Selain itu, apabila seseorang meninggal dan meninggalkan hutang, maka anak cucunya menerima warisan berupa hutang yang harus dibayar.
Kakekku juga menjelaskan bahwa kakek tidak akan menagih piutang sebanyak piutang yang sebenarnya, maunya hanya simbolik saja; yaitu seharga satu ekor sapi muda; kira-kira seharga 5 juta. Tujuannya bukan ingin mendapatkan uangnya tetapi untuk menyelamatkan anak cucu si B dari penderitaan akibat piutang itu. Karena piutang dulu itu tenget; bisa menciptakan penderitaan bagi anak cucunya kalau tak dibayar.
Banyak terjadi kasus seperti itu; dimana seseorang harus membuat upacara tertentu akibat buyutnya dulu punya hutang terhadap seseorang, akibatnya, anak cucu hidup dalam kesusahan, sulit mendapat rezeki. Untuk mengatasi hal tersebut, biasanya mengembalikan hutang dengan simbolik disertai upacara, bahwa seseorang telah mengembalikan hutangnya, meski tak sebanyak hutang sebenarnya.
Menurut cerita kakek, sudah berulang kali terjadi hal yang serupa. Dulu, kakek punya tanah di sana-sini, tapi sering dicurangi oleh orang lain; dan orang yang mencurangi pada akhirnya anak cucunya menderita.