Mohon tunggu...
I Ketut Merta Mupu
I Ketut Merta Mupu Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Pendamping Sosial PKH Kementerian Sosial RI

Alumni UNHI. Lelaki sederhana dan blak-blakan. Youtube : Merta Mupu Ngoceh https://youtube.com/@Merta_Mupu_Ngoceh

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[FR] Mendebat Ramadhan

14 Juli 2015   11:35 Diperbarui: 14 Juli 2015   11:54 1060
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Puasa yang Benar"][/caption]

Tak jauh dari meja kerjaku, berdiri seorang lelaki parlente, menggunakan jas hitam, kemeja putih, celana panjang. Wajahnya terlihat sangar, sedang marah, “Kenapa kamu datang terlambat? padahal banyak pekerjaan yang menumpuk. Jika kamu tak disiplin, kapan bisa jadi orang sukses” gertaknya.

Terkesiap mendengar kata-katanya. Aku hanya bisa diam, menguping, tak mau bersuara. Tak mendapat jawaban, kemarahannya semakin terdampar ke kepala, “Apa kamu gak dengar, kenapa diam? kamu kesiangan lagi? ini kesalahanmu berulang kali”

“Maaf pak” ujar Edy pada bos. Masih terlihat marah, bos langsung pergi ngeloyor, masuk ke mobilnya. Mungkin ada pertemuan bisnis dengan pengusaha lainnya, atau barangkali mau sidak ke perusahaannya yang lain.

Istirahat siang tiba, berkongko ria bersama teman-teman karyawan. Ada Stefanus yang Kristen, Rama Nata dan aku yang Hindu. Lisa dan Edy seorang muslim. Di tempat kerja ini bertemu orang-orang berbeda keyakinan. Sering bertukar pemahaman agama, tak jarang saling ledek, saling kritik, berdebat, namun tetap akrab. Keyakinan boleh beda, tetapi persaudaraan tetaplah satu.

Rama duduk di samping Edy sambil makan roti, ia tersenyum melihat Edy merunduk sedih, lalu bertanya, “Tadi kenapa kamu telat kerja?”

“Kayak kamu gak tahu aja, aku kan lagi puasa. Biasalah, kalau bangun lebih pagi mau sahur, setelah itu tidur lagi, ujung-ujungnya bangun kesiangan” seloroh Edy, lalu menguap seperti tak tidur seharian.

“Oh, jadi gara-gara puasa nih ceritanya. Kasihan juga sampai dimarahi seperti itu sama bos, kayak anak kecil aja masih dimarahi”

“Resiko menjalankan kewajiban agama. Tapi daripada agama lain, tak mengajarkan puasa. Kayak kamu doyan makan terus”

Mendengar celotehan Edy, kami kompak tertawa terkekeh-kekeh. Entah kenapa bisa seperti itu, seakan pada menyadari kekeliruan Edy. “Eh, daripada puasa, terus jadi mengabaikan tugas dan kewajiban, lebih baik makan yang sehat, jadi bisa bekerja dengan baik. Tugas selesai, kita bahagia, masalah tak ada. Kita bahagia, Tuhan pun senang. Puasa itu bikin orang sakit mag dan tidak bertenanga” seloroh Rama berapi-api.

“Menjalankan syari’at Islam itu memang berat, bikin menderita, tapi Allah menjanjikan kebahagiaan duniawi dan akhirat, bisa masuk surga”

“Edy, Edy, kamu ada-ada saja. Kayaknya kamu perlu belajar agama lain, biar tak seperti katak dalam tempurung, merasa keyakinanmu paling cihuy, paling sempurna. Dalam agama Kristen juga kenal tuh yang namanya puasa, cuma caranya berbeda” Stefanus ikut menimpali.

“Setuju dengan Anus, eh Stefanus”

Rama tertawa lepas, aku pun ikut tersenyum geli, lalu Rama melanjutkan, “Dalam ajaran Hindu juga dikenal puasa, lebih keren daripada puasa ala muslim yang hanya pindah jam makan”

Huahaha.. Kami kompak terbahak-bahak mentertawakan Edy yang wajahnya mulai memerah. Dari tadi aku gemas mendengar obrolan mereka. “Jangan dimasukin perut kata-kata mereka, nanti Edy malah batal puasa. Eh, maksudnya jangan masukin hati. Kalau puasa marah-marah, itu namanya menipu diri sendiri; hanya mengendalikan perut tetapi tidak mengendalikan pikiran, seperti marah, iri hati, dengki, benci. Bagaimana menurut Tut Mupu?” pertanyaan Rama membuatku berpikir sejenak.

Aku mencoba menjelaskan sesuai pemahamanku. Aku setuju dengan apa yang Rama sampaikan bahwa pengendalian indrya-indrya atau panca indra itu lebih penting daripada hanya sekedar mengendalikan nafsu makan dan minum. Tetapi untuk bisa mengendalikan indria-indria itu diawali dengan mengendalikan nafsu makan dan minum. Dengan kata lain, puasa makan dan minum baru tahap awal daripada puasa yang sebenarnya. Puasa itu berasal dari bahasa Sansekerta Upavasa; upa artinya dekat, Vasa artinya Tuhan. Sederhananya, puasa artinya mendekatkan diri kepada Tuhan dengan cara mengendalikan pikiran, mengendalikan panca indra. Biasanya yang paling sulit dikendalikan terutama urusan selangkangan; mengendalikan nafsu seks.

Aku menambahkan pula, sebenarnya puasa makan dan minum sampai menyiksa diri itu sebenarnya tidak dianjurkan Veda, puasa seperti itu hanya diwajibkan bagi orang-orang yang banyak dosa atau bagi orang-orang yang menginginkan sesuatu; mengharap keturunan, kewibawaan, kesaktian. Puasa sebagai penebusan dosa banyak jenisnya, dari puasa ringan hingga yang berat, tergantung dosanya. Dengan cara itu, dosa bisa dikurangi, asalkan setelah menjalankan laku pertobatan tidak lagi mengulangi perbuatan yang dilarang agama.

Dalam ajaran Veda, yang terpenting dianjurkan adalah makan makanan yang Satwika, makanan yang bersifat kebaikan; seperti menghindari makan daging hewan berkaki, binatang buas. Lebih menonjolkan makanan-makan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, seperti sayur-sayuran, buah-buahan. Dengan cara itu, pikiran kita lebih mudah dikendalikan; tidak cepat marah, mudah memaafkan.

Setelah menjelaskan seperti itu, mereka jadi manggut-manggut, pada setuju. Debat kusir pun berakhir. Lalu, kami curhat tentang cewek. Sedang asik membahas ngobrol, ada suara cewek marah-marah. Ternyata Lisa.

“Sialan, uangku jadi habis nih” Lisa mendengus kesal, membanting jaketnya.

“Baru datang marah-marah, emang ada apa Lis?” tanya Stefanus.

“Tadi disuruh belanja ke pasar sama ibu bos, tapi uangnya kurang, jadinya uang aku yang dipakai. Gara-gara harga barangnya naik semua”

“Ah, kamu puasa kok marah-marah, nanti batal loh puasanya. Nyebut atuh!”

“Astagfirullah.. hampir aku lupa” ujar Lisa melihat ke atas, seakan Tuhan ada di langit. Mungkin Lisa tersadar mendengar celotehan Stefanus. Lisa lalu bergegas masuk membawa barang belanjannya, mengadap ibu bos.

“Kalau dipikir-pikir bulan puasa itu aneh bin lucu, masak orang-orang mengurangi porsi makan tetapi harga barang selalu merangkak naik, seharusnya kan turun, gimana tuh, Ed?”

Mendengar pertanyaan Rama, Edy terdiam, tak bisa menjawab. Pertanyaan Rama terlalu menusuk hingga lubuk hati yang terdalam atau mungkin Edy tak mau debat kusir.

“Katanya karena pengaruh Inflasi, katanya sih, mungkin sebagai pembenaran, bukan kebenaran. Menurut teori; semakin banyak kebutuhan, semakin tinggi harganya. Bisa jadi saat bulan puasa Edy makannya semakin mewah. Betul gak, Ed?”

Sudah terjatuh, tertimpa tangga pula. Sudah ditusuk dengan pertanyaan menyakitkan dari Rama, malah Stefanus meledek hingga membuat Edy diam seribu bahasa, seperti patung. “Kalian itu keji, masak pertanyaannya kejam seperti itu? nanti Edy sedih loh! bisa-bisa nanti dia berteriak; Sakitnyaaa.. Tuh.. di sinii.. “ candaku, menirukan sebuah lelucon yang pernah aku tonton di layar TV.

“Jreng.. jreng, jreng. Sakitnya tuh di sini, di dalam hatiku”

Stefanus dan Rama kompak bernyanyi; Sakitnya Tuh Disni. Lalu kami tertawa terpingkal-pingkal. Dan Edy tersenyum kecut, “Sialan kalian!”

“Gak usah marah, ini hanya guyonan, tapi ada seriusnya juga, jangan diambil hati” selorohku.

Edy tampaknya bisa menerima candaan teman-temannya, meski membuat wajah pada merah. “Jujur, sepertinya umat muslim memang hanya pindah jam makan, dan makannya lebih mewah dari biasanya. Bahkan banyak diadakan jamuan makan ketika buka puasa. Tapi soal harga barang naik, itu memang merugikan bagi masyarakat, tapi bagi pengusaha, itu rezeki. Intinya tergantung dari sudut mana kita melihatnya”

“Gitu dong.. itu baru hati nurani yang berbicara” Rama berseloroh, terlihat senang karena Edy mau menurunkan egonya yang selalu tak mau mengalah ketika diskusi.

“Sepertinya lebaran juga menjadi sumber bencana, soalnya kecelakaan meningkat tajam ketika arus mudik dan balik, bahkan banyak yang meninggal” Stefanus memanas-manasi lagi.

“Cuukupp..!” ujar Edy mendengus. Lalu ia pergi dengan wajah jengkel.

Kami pun terdiam, “Nah, gara-gara Anus tuh! awas nanti dia marah, bisa-bisa kamu dibawakan golok”

“Biarkan saja, lagi pula aku ngomong apa adanya”

Menurutku apa yang dikatakan Stefanus ada benarnya. Polisi pasti lebih sibuk ketika musim lebaran tiba. Bahkan lebih anehnya lagi, ketika musim lebaran; aksi pencurian, perampokan, trennya meningkat. Padahal, katanya; Bulan Ramadhan bulan nan suci, bulan penuh berkah, namun antara harapan dan kenyataan tampaknya jauh panggang dari api.

Katanya, puncak dari bulan Ramadhan ada Idul Fitri; hari kemenangan; kembali ke fitrah; kembali ke jalan yang benar. Barangkali serupa dengan perayaan Galungan bagi umat Hindu di Bali, merayakan kemenangan kebajikan melawan kezaliman; dharma melawan adharma. Tapi nyatanya kita selalu kalah dalam melawan sifat-sifat buruk dalam diri; disebut Sad Ripu; enam musuh dalam diri. Sudahkah kita menang?

 

NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community dan Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun