Mohon tunggu...
Merry Ivn
Merry Ivn Mohon Tunggu... Lainnya - Hiburan

Mahasiswi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bukan Aku, Tetapi Aku

29 Agustus 2021   13:05 Diperbarui: 29 Agustus 2021   13:22 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerpen ini saya tulis dalam rangka mengikuti lomba menulis cerpen yang diadakan oleh Penerbit Laditri Karya pada September 2020 lalu. Dan telah dibukukan dengan judul "Kami (Tidak) Baik-Baik Saja".

Bukan Aku, Tetapi Aku

Oleh: Merry Ivana

Gadis itu melihat dengan cermat setiap sudut wajahnya pada benda lebar yang memantulkan sesosok persis seperti rupanya. Ya, itu memang dia, tentu saja. Kali ini ia perhatikan bibirnya yang telah dipoles krim bibir berwarna nude. Hm, sepertinya terlalu tebal. Hm, tidak ya? Sepertinya iya. Tapi tidak---

"Kamu cantik, El." Sebuah suara tiba-tiba muncul dari belakangnya. Kemudian segera ia kenali. Gadis itu tersenyum. Ia memandang orang tersebut lewat cerminnya.

"Beneran, Ndra? Kalo lipcream tuh aku suka ribet," tanyanya sambil terkekeh.

Orang itu, Tarendra, atau yang lebih sering dipanggil Rendra, mengangguk pelan sambil tersenyum. Tetapi itu cukup bagi si gadis. "Ayo cepat, nanti kamu terlambat masuk kelas. Siapa dosen pagi ini? Bu Puji, kan? Kamu tau sendiri beliau gak pernah menolerir keterlambatan."

Cepat-cepat gadis itu melihat jam di ponselnya. Ya Tuhan. "Astaga! Kamu benar. Aku gak mau dimarahin papa."

Dalam hitungan detik, gadis itu sudah keluar dari kamar indekosnya.

Dan dalam hitungan menit, tubuhnya sudah duduk pada salah satu kursi di kelasnya.

Namun aneh, ruang kelasnya masih kosong melompong. Seperti tidak akan ada kegiatan pembelajaran dalam beberapa waktu ke depan. Bukannya sudah hampir menuju waktu kelas ya? Kembali gadis itu melihat jam pada ponselnya. 06.30 WIB. Kelasnya mulai pukul 07.00 WIB. Oh, ternyata masih ada waktu setengah jam.

Ia pun mengambil binder serta buku untuk mata kuliah pagi ini. Membukanya, lalu mulai mencatat. Begitu tenggelam oleh pesona buku tersebut. Mama pernah mengatakan padanya bahwa belajar adalah hal paling penting di dunia. Papa pernah mengatakan padanya bahwa dirinya tak menjadi apa-apa tanpa belajar.

Sampai beberapa teman sekelasnya mulai berdatangan, ia masih menunduk ke arah buku. Tangannya masih menari di atas kertas.

"Yaampun, Elok!" seru sebuah suara feminin, disusul tepukan cukup keras di bahunya. Segera gadis itu mendongak. Rupanya itu Uwi.

"Kenapa, Wi?" tanya Elok dengan senyum lebar. "Kaget tau ih, aku kan lagi nulis," lanjutnya.

Di sampingnya Uwi memasang raut tak habis pikir. "Dari jam berapa kamu di sini?" Pertanyaannya terdengar tidak nyambung.

"Hmm... Tadi sih jam setengah tujuh---"

"Elok, kamu ga harus sepagi itu buat sampe di kampus. Kamu ga nyadar mata kamu penuh lingkaran hitam gitu? Plis, kamu butuh istirahat, lho," Uwi mendumal. Seperti biasanya.

Dan seperti biasanya juga. Elok hanya terdiam, mengerjap-ngerjapkan matanya. Lalu menutup buku.

Jujur saja, jauh dalam dirinya, tubuhnya lelah dan mengantuk setengah mati. Tapi Tarendra selalu mengingatkan dirinya untuk tidak pernah lengah sedikitpun. Yah, ini juga untuk kebaikan papa. Gadis itu tidak mau kalau harus dimarahi papanya lagi.

Jam sudah menunjuk angka 7 lewat 10. Namun sang dosen tidak muncul juga.

"Aih, sia-sia banget dateng cepet. Kalo gini kan gue bisa lanjut tidur bentar tadi," ucap Zahra disamping kanannya. Wajahnya tampak tidak segar sama sekali. Tumben...

"Ra, lo ga pake bedak ya?" tanya Elok terang-terangan.

Zahra malah mengerang, meletakkan kepalanya di meja yang sempit itu. "Diem, El. Diem! Ya Allah bisa gila gue!"

Minggu ini memang minggu dengan kepadatan yang boleh dikatakan melebihi kepadatan jalanan di Jakarta sana. Hampir-hampir tidak ada waktu luang. Elok juga bisa gila kalau begitu. Namun Tarendra selalu bisa mengantisipasinya. Untung besok sudah weekend.

"Gais, nanti makan bareng kuy. Mayan kumpul-kumpul ngilangin penat. Eaak," ucap Dodi cengengesan dari arah belakang. Temannya yang paling jago memprovokasi.

Kelas yang sejak tadi sudah cukup berisik karena belum ada tanda-tanda kedatangan dosen, semakin berisik oleh sahutan persetujuan dari hampir semua anak.

"Kamu ikut, El?" tanya Uwi padanya. Elok mau, tapi...

"Emmhh---"

"Ikut ya? Jarang-jarang nih kita sekelas. Apalagi semester depan mulai misah," bujuk Uwi.

Benar juga. Tidak terasa mereka akan memasuki masa-masa tua.

Dengan itu, Elok mengangguk. Tidak merasakan beban apa-apa saat memustuskan hal tersebut.

"WHAT?! Ga salah nih? GILA!" Dodi---lagi---kembali berteriak. Refleks seluruh mata melihat ke arahnya.

***

Mereka semua bersenang-senang. Tak terkecuali Elok. Ia sangat menikmati suasana ini. Suasana dimana tubuh dan pikirannya tidak perlu bekerja keras. Mengalir begitu saja. Tanpa rasa khawatir. Tanpa perasaan resah. Tanpa merasa harus melaksanakan kewajiban. Hanya tertawa keras-keras.

Tidak disadar bahwa langit sudah berubah warna. Ternyata sudah cukup lama mereka berada di kafe itu. Waktunya beristirahat.

Elok sampai di indekosnya, masih dengan perasaan ringan. Membayangkan sebentar lagi tubuhnya akan beradu mesra dengan benda terbaik bernama kasur. Ah, indahnya dunia. Gadis itu kemudian segera memasuki kamarnya yang gelap gulita.

Sesaat setelah memasuki kamar, sekonyong-konyong dadanya terasa berat. Salah. Seharusnya ia tidak perlu ikut berkumpul dengan teman-temannya. Pagi tadi sang dosen akhirnya tidak masuk, dan memberi mereka bertumpuk tugas sebagai penggantinya. Dan itu semua harus dikumpulkan secepatnya.

Astaga. Bagaimana ini? Keringat mulai muncul di dahinya. Napasnya berubah cepat.

"Kenapa kamu mengikuti ajakan bodoh temanmu itu, hah?! Kamu kira kamu bisa membuang-buang waktu seperti itu?!" Sebuah suara yang dikenalinya terdengar murka.

"Rendra, maaf. Aku benar-benar tidak tahu. Aku... aku... aku hanya merasa---Arghhhh!" Elok merasakan kepalanya seperti dicengkeram sesuatu yang kuat. Sakit, sakit sekali.

"Kamu harus melakukan tugasmu! Kamu mau disiram air panas lagi oleh papamu, hah?! Mau jadi apa kamu di masa depan, Elok?!" Suara Tarendra di belakangnya semakin meninggi.

Elok menekan kepalanya dengan kedua tangannya kuat-kuat. Tidak sanggup menahan serangan-serangan yang menusuk langsung pada dirinya. Lelehan air mulai menurun dari mata gadis itu.

Lebih dari itu, kekhawatiran, keresahan, yang tadi sempat tak ia rasakan, menyerbu dengan ganas. Gadis itu lalu jatuh terduduk di lantai dingin kamar kosnya.

Tetapi Tarendra masih berdiri kokoh di belakang sana. Rautnya memancarkan sebuah ancaman tak terlisan. Matanya kian menajam. Sama sekali tidak terpengaruh oleh keadaan gadis yang teronggok tak berdaya itu.

"Kamu tidak bisa main-main, Elok." Suara laki-laki itu berubah sedingin es. Menyebabkan sekujur tubuh Elok menggigil.

"Aku... h-hanya ingin... ber...santai, sedikit---"  ucap Elok lirih, terbata-bata. Lebih kepada dirinya sendiri.

"Tapi kamu memang gak bisa! Ga boleh! Aku sudah ga sanggup lagi menerima siksaan itu!" Teriakan Tarendra menggema di setiap sudut kamar. Elok kehilangan dirinya saat kepala gadis itu dengan keras menghantam lantai.

***

"Dari buku catatan ini, pasien sudah mengalami kejadian-kejadian buruk sejak kecil. Dituntut melakukan semuanya dengan sempurna. Terkhusus dalam pendidikannya. Saat pasien mendapat nilai tidak sempurna, pasien mulai menunjukkan tanda-tanda kemurkaan. Hal itu didorong oleh sisi dirinya yang terus menerus merasa harus mendapatkan sesuatu, termasuk nilai, dengan sempurna. Namun di catatan selanjutnya, pasien mengungkapkan bahwa sebenarnya tidak apa-apa sesekali tidak bagus. Tetapi selanjutnya lagi, pasien menuliskan bahwa pasien tidak boleh mendapat nilai tak sempurna. Pasien takut papanya akan mengguyurnya dengan air panas lagi,"

"Catatan ini ditulis sekitar 7 tahun lalu. Sekarang pasien menempuh pendidikan di semester 5. Dapat disimpulkan bahwa pasien telah menyembunyikan lama hal ini dari semua orang terdekatnya. Dimana sebenarnya hal tersebut adalah keputusan fatal, karena kita tidak tahu apa yang akan menimpa dirinya. Dan kejadian di kamar kosnya dapat kami katakan sebagai batas kemampuan bertahan pasien. Emosi yang sudah lama terpendam dalam diri pasien merebak. Sehingga sisi lain dalam tubuh pasien mendorong untuk melakukan tindakan, termasuk melukai diri, untuk menghentikan semua itu. Termasuk menghentikan rasa sakit di kepalanya---"

"Sebentar, Dok," potong wanita yang sejak tadi mendengarkan seluruh penuturan psikiater di depannya mengenai buku catatan Elok yang didapatkannya di lemari kos anak gadisnya. Wanita itu memejamkan mata sejenak, kemudian menundukkan kepalanya. Napasnya terdengar tak beraturan. Intan, psikiater itu, mengangguk, tersenyum menenangkan ibu pasiennya.

7 tahun? Itu berarti Elok, putrinya, sudah memiliki penyakit kepribadian ganda selama itu? Psikiater itu telah mengatakan pada dirinya bahwa Elok menderita gangguan mental yang menyebabkan Elok mempunyai kepribadian lain dalam tubuhnya. Psikiater itu menyebutkan bahwa pribadi lain itu bernama Tarendra Wira. Ya Tuhan, semua ini adalah salahnya.

"Silakan, Dok. Boleh dilanjutkan." Wanita itu tidak mampu berkata apa-apa lagi. Sang psikiater kembali memasang senyum menenangkan.

"Baik. Dissociative Identity Disorder atau kita singkat DID ini memang menyebabkan siapapun penderitanya, termasuk pasien, mengalami sakit kepala yang cukup berat. Dan sakit itu kambuh pada serangan terakhirnya di kamar kos pasien. Acara kumpul-kumpul bersama temannya, walau saya tidak terlalu yakin karena pasien tidak menuliskan kejadian itu, menjadi pemicu. Selama ini pasien hampir tidak pernah main bukan, Bu?" Ibu pasiennya mengangguk lemah.

Lalu melanjutkan. "Pribadi pasien bernama Tarendra, yang selama ini menjadi pelindung dari segala rasa sakit yang diterima pasien, merasa bahwa hal itu tidak benar. Tarendra merasa tidak seharusnya melakukan itu. Yang harusnya dilakukan adalah belajar. Maka kemudian dia mendominasi lalu meledak. Serangan itu tidak bisa diantisipasi oleh pribadi Elok, yang berujung menjadi tindakan bunuh diri..."

***

Beberapa tahun yang lalu...

Elok merasakan tubuhnya melepuh. Ia mendengar suara paling memilukan, yang gadis itu sadari adalah suaranya sendiri. Ia jatuh melorot ke lantai. Air mendidih baru saja menghantam tubuhnya. Dari cangkir di tangan laki-laki itu.

Gadis itu sudah menduga hal ini akan terjadi. Padahal ayahnya sudah mengatakan berkali-kali bahwa ia harus terus belajar.

Elok rasa dirinya sebentar lagi akan menangis. Namun ada sebuah suara dalam dirinya yang membuat tubuhnya yang masih menimbulkan nyeri menyengat itu mampu bangkit berdiri. Menatap sang ayah yang masih tampak tak memercayai apa yang sudah diperbuat kepada putrinya.

Dengan susah payah, Elok mulai berjalan. Tidak boleh menangis. Tidak boleh menangis. Ini tidak lebih sakit dari apapun. Sekarang yang harus kau lakukan adalah memperbaiki nilaimu. Jangan pernah sekalipun meninggalkan bukumu. Setidaknya, dengan buku itu, kau tidak perlu merasakan sakitnya dunia.

Suara-suara yang bukan dirinya, namun dirinya itu terus mendengung di telinganya...

TAMAT

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun