***
Mereka semua bersenang-senang. Tak terkecuali Elok. Ia sangat menikmati suasana ini. Suasana dimana tubuh dan pikirannya tidak perlu bekerja keras. Mengalir begitu saja. Tanpa rasa khawatir. Tanpa perasaan resah. Tanpa merasa harus melaksanakan kewajiban. Hanya tertawa keras-keras.
Tidak disadar bahwa langit sudah berubah warna. Ternyata sudah cukup lama mereka berada di kafe itu. Waktunya beristirahat.
Elok sampai di indekosnya, masih dengan perasaan ringan. Membayangkan sebentar lagi tubuhnya akan beradu mesra dengan benda terbaik bernama kasur. Ah, indahnya dunia. Gadis itu kemudian segera memasuki kamarnya yang gelap gulita.
Sesaat setelah memasuki kamar, sekonyong-konyong dadanya terasa berat. Salah. Seharusnya ia tidak perlu ikut berkumpul dengan teman-temannya. Pagi tadi sang dosen akhirnya tidak masuk, dan memberi mereka bertumpuk tugas sebagai penggantinya. Dan itu semua harus dikumpulkan secepatnya.
Astaga. Bagaimana ini? Keringat mulai muncul di dahinya. Napasnya berubah cepat.
"Kenapa kamu mengikuti ajakan bodoh temanmu itu, hah?! Kamu kira kamu bisa membuang-buang waktu seperti itu?!" Sebuah suara yang dikenalinya terdengar murka.
"Rendra, maaf. Aku benar-benar tidak tahu. Aku... aku... aku hanya merasa---Arghhhh!" Elok merasakan kepalanya seperti dicengkeram sesuatu yang kuat. Sakit, sakit sekali.
"Kamu harus melakukan tugasmu! Kamu mau disiram air panas lagi oleh papamu, hah?! Mau jadi apa kamu di masa depan, Elok?!" Suara Tarendra di belakangnya semakin meninggi.
Elok menekan kepalanya dengan kedua tangannya kuat-kuat. Tidak sanggup menahan serangan-serangan yang menusuk langsung pada dirinya. Lelehan air mulai menurun dari mata gadis itu.
Lebih dari itu, kekhawatiran, keresahan, yang tadi sempat tak ia rasakan, menyerbu dengan ganas. Gadis itu lalu jatuh terduduk di lantai dingin kamar kosnya.