Mohon tunggu...
MERRY TIURMADESYANA
MERRY TIURMADESYANA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta

Tim: 1. Felix Sevanov Gilbert 1810413001 2. Ananda Tania Putri 1810413007 3. Dina Sari 1810413054 4. Merry Tiurma D.G 1810413066 5. Wiji Setiyani 1810413088

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Pro-Kontra Permendikbud 30/2021: Desakan dan Dorongan Masyarakat Sipil dan Identitas terhadap Kekerasan Seksual

22 November 2021   20:46 Diperbarui: 23 November 2021   03:49 679
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri Nadiem ungkap Alasan terbitkan Peremendikbud 30/2021/Suara.com

Tentang Penulis:

Felix Sevanov Gilbert, Ananda Tania Putri, Dina Sari, Merry Tiurma D.G, Wiji Setiyani                   

UPN Veteran Jakarta

Kesetaraan gender selalu menjadi isu yang sering dibincangkan dalam ruang lingkup kehidupan saat ini. Pembahasan yang menuntut adanya pemenuhan kesetaraan antara kaum laki-laki dan perempuan merupakan advokasi yang telah dilakukan oleh kaum perempuan sejak lama. Salah satu permasalahan yang terjadi adalah kekerasan seksual yang telah menjadi ancaman besar bagi bangsa Indonesia dengan mayoritas korban merupakan kaum perempuan. 

Hal tersebut berdasarkan hasil survei dari Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) yang menyatakan bahwa pada akhir tahun 2020, sebanyak 3 dari 5 perempuan atau sekitar 64% perempuan pernah mengalami pelecehan di ruang publik. Kekerasan seksual merupakan suatu tindak kejahatan yang dapat dilakukan kapan dan dimana saja, tidak terkecuali dalam ruang lingkup pendidikan seperti Kampus. 

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, mengklasifikasikan dampak negatif yang ditimbulkan dari kekerasan seksual menjadi lima bagian, yaitu ekonomi, sosial, kesehatan mental, fisik dan perilaku. Sehingga hal tersebut menyebabkan banyak korban kekerasan seksual yang memutuskan untuk tidak melanjutkan studinya dikarenakan trauma yang sulit diobati.

Jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangannya untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya dan meningkatkan kualitas hidup agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, bertanggungjawab dan sejahtera. Namun fakta sebenarnya malah berbanding terbalik. Seperti kasus seorang mahasiswi korban pelecehan seksual dari dosennya malah mendapatkan ancaman untuk membayar uang sebesar 10 miliar karena dianggap telah mencoret nama baik dosen tersebut. 

Melihat hal tersebut, akhirnya Kemendikbud berusaha untuk menindak tegas permasalahan kekerasan seksual yang terjadi di Perguruan Tinggi dengan mengeluarkan peraturan baru, yaitu Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Hal tersebut sontak menuai berbagai pro dan kontra dari berbagai elemen masyarakat. 

Banyak pihak yang menganggap bahwa peraturan tersebut sangat kontroversial karena benturan antara nilai religius dan liberalisme. Peraturan tersebut juga dinilai masih mengandung makna yang ambigu, seperti penyebutan tidak adanya tindakan kekerasan jika saling mengizinkan atau dengan tanda kutip melegalkan adanya perzinahan. Namun disisi lain, sejumlah aliansi atau organisasi kemahasiswaan cenderung mendukung peraturan yang dinilai mampu meminimalisir hingga meniadakan kekerasan seksual yang terjadi dalam ruang lingkup kampus.

Hubungan atau kaitan dengan Negara, masyarakat sipil dan politik identitas 

Dengan runtuhnya era Orde Baru, muncul organisasi dan gerakan masyarakat sipil. Bentuknya dapat dilihat dari keberadaan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), organisasi keagamaan, dan sebagainya yang memiliki karakteristik dan tujuan yang berbeda serta membuat suatu identitas tertentu. 

Terkadang, identitas masuk ke ranah politik terkait dengan kebijakan yang dibuat pemerintah. Namun, masyarakat sipil di Indonesia memiliki kendala tersendiri. Masyarakat sipil memiliki hambatan untuk mencegah identitas antara kelompok yang semakin terpolarisasi dan terpinggirkan. Masyarakat sipil berusaha untuk melanggengkan dominasi struktur sosial yang ada. Kelompok identitas perempuan sering kali mengalami bentuk kekerasan karena terkait dengan stigma bahwa perempuan lemah sehingga mudah untuk di eksploitasi. 

Kekerasan seksual juga sering ditemukan di lingkungan Perguruan Tinggi. Untuk mengatasi hal tersebut, pada akhir Oktober lalu dikeluarkannya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi. Aturan tersebut telah menimbulkan kritik yang digaungkan oleh politisi dan berbagai kelompok identitas agama.

Inisiasi Mendikbudristek, Nadiem Makarim merupakan inisiasi dalam prosedur pencegahan dan kekerasan seksual yang dapat diadopsi oleh berbagai Perguruan Tinggi. Namun, Pemendikbudristek terdapat tudingan beberapa Pasal yang melegalkan hubungan seksual di luar nikah bagi mahasiswa/i, yakni zina. Pasal yang disorot adalah Pasal 5 ayat 2. 

Beberapa perwakilan umat Islam mengkritiknya, karena definisi kekerasan seksual muncul sebagai tindakan dalam hubungan antara dua pihak yang "tanpa persetujuan korban". Dalam interpretasi politisi partai berbasis agama sebagaimana yang diungkapkan oleh Hidayat Nur Wahid selaku Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Pasal 5 dalam Permendikbudristek berarti mengizinkan hubungan seksual di kampus asalkan dilakukan atas dasar suka sama suka. Hal ini diperkuat oleh Anggota komisi VIII DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera yaitu Iskan Qolba Lubis, yang menurutnya aturan ini banyak mengadopsi Draft Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) yang gagal lolos di Komisi VIII DPR RI periode lalu, dan pihaknya memiliki alasan serta argumen yang kuat untuk menolak RUU tersebut. Permendikbud ini sangat berpotensi melegalkan dan memfasilitasi perbuatan zina dan perbuatan menyimpang LGBT dan bertentangan dengan Nilai Agama dan Pancasila serta nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. 

Hal ini juga didukung oleh pendapat dari Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan (Diklitbang) Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang mendesak agar Permendikbud yang diminta Nadiem Makarim segera direvisi. Selain Muhammadiyah, sekitar 13 ormas yang tergabung dalam Majelis Ormas Islam (MOI) pun menyatakan sikap yang serupa. Kemudian, Forum Rektor Indonesia menganggap penafsiran tersebut bisa dipahami. Menurut ketua Forum Rektor Indonesia berharap Menteri Pendidikan dan Kebudayaan memberikan revisi terhadap Pasal 5 (2) agar frasa "konsensual" tidak masuk dan menyebabkan kesalah pahaman.

Pandangan berbeda diungkapkan oleh beberapa lembaga masyarakat, lembaga pemerintahan, dan sebagainya. Salah satu contohnya, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK yang seringkali mendampingi korban kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. LBH APIK juga telah mengkaji semua pasal Permendikbud nomor 30/2021 dan tidak menemukan masalah yang substansial. Tidak hanya itu, Koalisi Perempuan Indonesia juga memberikan dukungannya dengan mengatakan bahwa aturan tersebut merupakan kemajuan dari upaya pencegahan kekerasan seksual di Indonesia.

Menurutnya, langkah tersebut semestinya mendapat dukungan dari berbagai. Hal serupa juga didukung oleh Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS) yang mendukung aturan yang ditekan Nadiem Makarim itu. Dukungan serupa juga terlihat dari lembaga pemerintahan, contohnya yaitu Kementerian Agama yang menegaskan kembali dukungannya terhadap aturan ini. Menteri Agama mengungkapkan bahwa aturan ini sejalan dengan konsep moderasi beragama Kemenag yang merupakan cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan berlandaskan prinsip adil, berimbang dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa.

Kasus Pelecehan Seksual di Kampus dan Terbitnya Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021

Kasus pelecehan seksual menjadi kasus yang telah lama terjadi dan memakan banyak korban. Biasanya korban adalah para wanita atau pihak yang dianggap lemah oleh pelaku. Seperti yang kita ketahui kasus pelecehan seksual baru-baru ini menjadi perbincangan hangat lantaran korbannya adalah seorang mahasiswa dan pelaku adalah dosennya sendiri. Korban mengakui dilecehkan ketika berada di lingkungan kampus pada saat bimbingan skripsi, pelaku menyebutkan nama korban dengan kata-kata "i love u" serta menarik bahu korban dan mulai mencium pipi dan dahi korban. 

Hal ini jelas merupakan bentuk pelecehan seksual, seringkali pelaku beranggapan memiliki kekuatan dan kekuasaan lebih tinggi dibanding korban sehingga korban dianggap takut untuk melawan. Para predator seksual memang biasanya menyerang pihak yang lemah karena mereka dianggap tidak dapat melakukan apapun. Namun banyak dari korban pelecehan seksual akhirnya buka mulut dan menyampaikan kejahatan yang dialaminya.

Tanggapan dari pihak kampus 

Dilansir dari BBC bahwa Dalam konferensi pers di kantor LBH Pekanbaru, Minggu (7/11), pengurus Korps Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Riau, Popi, mengatakan keputusan korban serta Korps Mahasiswa Hubungan Internasional Unri (Komahi) untuk mengunggah video pengakuan korban yang berdurasi 13 menit itu didasari oleh sikap rektor yang disebutnya "tidak peduli" saat menggelar audiensi pada 4 November 2021.  Hal ini banyak terjadi bukan hanya di kampus UNRI namun juga kampus-kampus lain yang cenderung malu untuk mengakuinya karena berakibat buruk bagi citra atau nama kampus untuk kedepannya, sehingga mereka terbiasa untuk menutupi kasus tersebut atau menyelesaikannya secara diam-diam dengan pihak yang terlibat.

Namun karena sikap dari Rektor UNRI yang disebut "tidak peduli" akhirnya mengubah perspektif mahasiswa bahwa hal ini harus diselesaikan secara adil di hadapan hukum, dan pelaku harus mendapatkan balasannya agar untuk kedepannya hal ini dapat diantisipasi dan tidak terjadi kembali. Namun perjuangan dari korban adalah jalan panjang, rasa malu, sedih, hingga trauma dialami korban tidak dapat secepat itu hilang. Selain itu terduga juga tidak dapat secepat itu dijadikan tersangka karena proses hukum yang begitu berbelit serta tidak ada kebijakan khusus yang dapat dijadikan sebagai dasar hukum untuk menyelesaikan masalah tersebut

Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi.

Peraturan menteri tersebut dinilai dapat menjadi dasar hukum untuk menindak lanjuti kasus tersebut. seperti yang dikatakan oleh BEM UNRI sebagai perwakilan mahasiswa menuntut agar pelaku diberhentikan sementara sesuai dengan pasal 42. Dilansir dari Website (Kemendikbud,2021 )Menurut Pelaksana tugas (Plt.) Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Nizam Permendikbudristek PPKS dinilai detail dalam mengatur langkah-langkah yang penting di perguruan tinggi untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual. Di samping itu juga membantu pimpinan perguruan tinggi dalam mengambil tindakan lebih lanjut untuk mencegah berulangnya kembali kekerasan seksual yang menimpa sivitas akademika. Sehingga diharapkan kepada pihak universitas juga segera dapat memproses masalah ini dan tidak menutup-nutupi dengan alasan menjaga nama baik kampus.

Peraturan menteri ini selain mendapat dukungan positif juga mendapatkan banyak kritikan terutama karena beberapa pasal yaitu Pasal 5 yang memiliki arti legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan dari kedua pihak.

Strategi dalam menanggapi fenomena masyarakat sipil yang berlandaskan pada pola identitas (secara konsep/teori)

Mengacu pada masalah kekerasan seksual yang selama ini terjadi pada lingkungan kampus sendiri memang kembali lagi bahwa Pencegahan di lingkup yang terbawah merupakan sebuah solusi, dan perlu ada sebuah terobosan yang lebih konstruktif diantara pihak-pihak yang berwenang dengan siapapun yang menjadi sasaran dalam hal sosialisasi kedepannya. Masyarakat sipil dalam hal ini gerakan-gerakan yang peduli terhadap korban memang punya fungsi dalam advokasi terhadap korban agar adanya unsur keadilan di dalam penanganan kedepannya. Namun, semua harus dilihat bahwa berbagai kepentingan pasti membawa sisi yang pro maupun kontra. Umumnya, fenomena seperti ini memang dekat dengan perjuangan feminism yang diawali pada pola awal liberalis yang lebih mengedepankan kebebasan dan kesetaraan khususnya kalangan perempuan sebagai minoritas dan tertindas seperti konteks maraknya kekerasan seksual yang terjadi saat ini.

Secara strategi, kita melihat pada esensi ideologis seperti Liberalis yang cenderung pada pendekatan yang lebih halus dimana semua perlu dibangun secara dialogis, atau kembali lagi bahwa Marxis adalah lebih pada perjuangan terhadap tujuan itu sendiri, dan selalu dicirikan atas konflik antara dominasi dengan yang tertindas. Memang, kasus seperti ini menurut kami adalah kembali lagi pada kesadaran dan urusan kemanusiaan itu sendiri, peran masyarakat sipil harus mau terbuka sekaligus mengingat narasi identitas yang selalu digaungkan adalah haruslah bukan lebih pada mengkotak-kotakan persoalan melainkan harus melihat bahwa ini mampu mengutarakan apa yang menjadi substansi perjuangan yang mampu diakomodir. Seperti masyarakat sipil yang muncul di luar sebuah Negara dengan harapan memberikan alternative atau sebuah pencerahan yang efektif dalam kehidupan bernegara mengingatnya nyatanya kehidupan Negara tidak selamanya memuaskan segenap kepentingan sehingga perlu diingatkan dengan berbagai alternatif yang ada.

Hubungan yang berlangsung adalah hubungan yang konstruktif diantara siapapun yang punya pandangan masing-masing  antara menerima dan menolak agar direvisi sama-sama diwujudkan dalam ruang yang dijamin atas kebebasan. Dengan harapan bahwa ada partisipasi dan sama-sama menghargai apa yang menjadi keresahan dan sama-sama diatasi, bukan sekedar melihat pada persaingan atas dasar konflik diantara yang berlawanan. Demokrasi bukan hanya sekedar saling berbeda pandangan namun mengutarakan pandangan agar ditemukan sebuah solusi yang mengarah pada kebenaran. Dalam arti bahwa sejatinya mengacu pada konsepsi Liberalis maupun Marxis adalah tawaran atas ketimpangan yang terjadi hanya saja semua bergantung pada interaksi politik yang muncul di akhir yaitu melihat pada preferensi pemangku kepentingan untuk mau terbuka.

Kesimpulan

Kekerasan seksual merupakan suatu tindak kejahatan yang dapat dilakukan kapan dan dimana saja, tidak terkecuali dalam ruang lingkup pendidikan seperti Perguruan Tinggi atau Kampus. Upaya yang dilakukan oleh Kemendikbud untuk menindak tegas permasalahan kekerasan seksual yang terjadi di Perguruan Tinggi dengan mengeluarkan peraturan baru, yaitu Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi yang sontak menuai berbagai pro dan kontra. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), organisasi keagamaan, dan sebagainya menganggap Pemendikbudristek terdapat tudingan beberapa Pasal yang melegalkan hubungan seksual di luar nikah bagi mahasiswa/i. Pasal yang paling disorot dari berbagai kelompok kepentingan adalah Pasal 5 ayat 2 karena dianggap mengizinkan hubungan seksual di kampus asalkan dilakukan atas dasar suka sama suka.

Dalam hal sebuah fenomena akan terus memunculkan banyak kelompok kepentingan yang membawa pro dan kontra. Peran masyarakat sipil harus mau terbuka sekaligus mengingat narasi identitas yang selalu digaungkan. Perlu adanya hubungan yang sama-sama terbuka antara penerima dan penolak demi keberlangsungan dalam penegakan demokrasi.

DAFTAR PUSTAKA

 

Bramasta, Dandy Bayu. (14 November 2021). "Isi Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 yang Tuai Pro Kontra" (https://www.kompas.com/tren/read/2021/11/14/140000465/isi-permendikbud-ristek-nomor-30-tahun-2021-yang-tuai-pro-kontra?page=all, diakses pada 20 November 2021)

BBC (8 November 2021), "Kasus dugaan pelecehan seksual di Universitas Riau: Permendikbudristek soal pencegahan kekerasan seksual 'rawan digembosi'" (https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-59198733, diakses pada 20 November 2021)

CNN Indonesia (5 November 2021), "Mahasiswi Unri Unggah Pengakuan Dilecehkan Saat Bimbingan Skripsi", (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20211105081056-12-716907/mahasiswi-unri-unggah-pengakuan-dilecehkan-saat-bimbingan-skripsi, diakses pada 20 November 2021 )

Erlangga, A. M. (2021). Satu Pasal Aturan Pencegahan Kekerasan Seksual di Kampus Terus Dituding Legalkan Zina. Vice.com. https://www.vice.com/id/article/epxdzk/pasal-5-ayat-2-permendikbud-302021-dikritik-muhammadiyah-dan-pks-berpotensi-legalkan-zina

Fakih, M. (Ed.). (1996). Masyarakat Sipil. InsistPress.

Hikam, M. A., & Magnis-Suseno, F. (1996). Demokrasi dan civil society. Jakarta: Lp3es.

Indah. (2021). Menag Tegaskan Lagi Dukungan terhadap Permendikbud PPKS. Kemenag.go.id. https://kemenag.go.id/read/menag-tegaskan-lagi-dukungan-terhadap-permendikbud-ppks-18nog

Jb, M., & Darmawan, L. (2016). Wacana Civil Society (Masyarakat Madani) Di Indonesia. Jurnal Sosiologi Reflektif, 10(2), 35-64.

Kemendikbud (8 November 2021), "Permen Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi Tuai Dukungan", (https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2021/11/permen-pencegahan-dan-penanganan-kekerasan-seksual-di-lingkungan-perguruan-tinggi-tuai-dukungan, diakses pada 20 November 2021)

Novelino, A. (2021). Koalisi Perempuan Dukung Aturan Nadiem soal Kekerasan Seks Kampus. Cnnindonesia.com. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20211109143858-20-718688/koalisi-perempuan-dukung-aturan-nadiem-soal-kekerasan-seks-kampus

PKS, H. F. (2021). Polemik Permendikbudristek Kekerasan Seksual, Aleg PKS: Moralitas Bangsa Dipertaruhkan | Fraksi PKS. Fraksi.pks.id. https://fraksi.pks.id/2021/11/11/polemik-permendikbudristek-kekerasan-seksual-aleg-pks-moralitas-bangsa-dipertaruhkan/

Suherman, A., Aryani, L., & Yulyana, E. (2021). Analisis Fungsi Peraturan Mentri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 dalam Mencegah Kekerasan Seksusal di Kampus. Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan, 7(7), 173-182.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun