Mohon tunggu...
Merita Dewi
Merita Dewi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Amatiran

Tak perlu terlalu terang, cukup terus menyala dan tak kunjung padam

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Lika-liku Menjadi Terapis Anak Penyandang Autisme

14 Mei 2024   16:27 Diperbarui: 14 Mei 2024   18:41 785
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada pula yang berperilaku agresif jika suasana hatinya sedang tidak baik seperti melempar barang, tantrum, memukul orang-orang sekelilingnya dan tidak jarang akan terjadi baku hantam di dalam kelas yang akhirnya membuat proses terapi tidak kondusif.

Hal tersebut merupakan tantangan utama yang harus ditaklukkan bagi seorang terapis. Bagaimanapun kondisi anak, terapis harus mampu mengendalikan suasana dan membuat kegiatan belajar atau terapi tetap berjalan hingga sesi berakhir.

Selanjutnya, jika terdapat permasalahan pada perkembangan anak yang berlarut-larut dan tak kunjung mendapatkan solusi, maka terapis adalah orang pertama yang akan dicecar konsultan terkait hal tersebut. Bagi yang tidak kuat mental akan mudah menangis dan bisa sampai kepikiran selama berhari-hari.

Di awal menjadi terapis, saya kerap mengalami hal seperti itu. Lantas salah senior saya memberikan wejangannya, "Ketika kaki kita sudah melangkah keluar dari klinik, sudahi pula pikiran kita dari berbagai persoalan tentang pekerjaan. Tahan-tahanlah barang sebentar menghadapi runyamnya pekerjaan di dalam klinik, setelah pulang lepaskanlah semuanya jangan ikut dibawa serta." Benar saja, ketika kami tidak sengaja bertemu di luar jarang sekali membicarakan seputar pekerjaan.

Terakhir, tanggung jawab moril. Setelah berkelebat dengan anak dan konsultan, terapis pasti berhadapan dengan orang tua anak terutama sang ibu. 

Di sela-sela proses terapi, tak jarang seorang ibu menumpahkan segala isi hatinya yang beraneka macam. Mulai dari tidak mudahnya menghadapi anak dengan penyandang autisme terlebih jika mereka berperilaku agresif, lalu pengorbanan waktu, tenaga juga materi yang jumlahnya tidak sedikit untuk mengantarkan sang anak menjalani terapi. Sebagai orang tua, tentulah mereka menaruh harapan supaya anaknya bisa membaik dan diterima di masyarakat.

Saya menekuni dan menahankan segala lelah yang ada terkadang karena alasan-alasan yang bersumber dari nurani. Itu hanya sekilas tentang bagaimana seorang terapis menghadapi lika-liku pekerjaannya di tempat yang pernah saya singgahi. Mungkin di tempat lain akan berbeda terkait manajemen dan berbagai aturannya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun