Mohon tunggu...
Merita Dewi
Merita Dewi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Amatiran

Tak perlu terlalu terang, cukup terus menyala dan tak kunjung padam

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Lika-liku Menjadi Terapis Anak Penyandang Autisme

14 Mei 2024   16:27 Diperbarui: 14 Mei 2024   18:41 710
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa tahun yang silam, saya sempat menekuni sebuah profesi sebagai terapis untuk anak penyandang autisme. Lebih kurang 3 tahun lamanya saya berjibaku dengan dunia anak-anak autis berikut cara mereka belajar. 

Sekilas kesan pertama orang saat mendengar profesi terapis ini seringkali dikaitkan dengan kegiatan pijat memijat atau orang yang kerjanya di salon dan klinik kecantikan.

Padahal, sederhananya terapis adalah orang yang melakukan terapi dan kegiatan terapi itu sendiri tidak melulu bersinggungan dengan pijat-pijatan. Seperti halnya terapis anak penyandang autisme misalnya, terapi yang diterapkan kepada mereka tidak lain merupakan proses belajar khusus dengan berbagai metodenya yang beragam dan tentunya berbeda dengan anak normal pada umumnya.

Anak penyandang autisme ini termasuk ke dalam golongan ABK (Anak Berkebutuhan Khusus). Hal yang paling diutamakan bagi siapa saja yang membersamai tumbuh kembang anak autis adalah kesabaran, terutama bagi terapis.

Terlepas dari beraneka lika-liku yang dijalani selama menjadi terapis, saya amat bersyukur mendapatkan pekerjaan ini tidak lama setelah pelaksanaan wisuda sarjana. Tidak ada spesifikasi jurusan khusus maupun embel-embel harus yang sudah memiliki pengalaman kerja.

Menjadi terapis penyandang autisme bahkan tidak selinear dengan latar belakang pendidikan saya semasa kuliah, tapi tak apalah hitung-hitung mengais ilmu dan wawasan baru yang lebih luas.

Saya menjalani masa training atau pelatihan secara bertahap di 3 bulan pertama, mulai dari mengikuti pembelajaran di workshop, melakukan observasi di ruang terapi atau biasa disebut kelas, menjadi bagian penilaian kemampuan anak saat proses terapi berlangsung, menjadi aster (asisten terapis) saat kegiatan terapi, lalu naik menjadi terapis 15 menit, kemudian 30 menit, 45 menit, 60 menit dan terakhir terapis 1 sesi yakni selama 1 jam 30 menit. Biasanya akan ada mentor yang bertugas mengevaluasi setiap tahapan training. 

Tak hanya itu, setiap selesai sesi terapi maka terapis harus membuat laporan yang ditujukan kepada konsultan dan orang tua anak. Setiap pekannya juga ada rapat disertai presentasi masing-masing penanggung jawab anak guna membahas perkembangan kemampuan setiap anak. 

Rumitkah? Bagi yang baru menjadi terapis tentu saja ribetnya minta ampun, sedangkan mereka yang sudah berpengalaman dan bertahun-tahun berkecimpung di pekerjaan ini mudah saja menyelesaikan segala problem yang ada.

Seperti halnya anak normal, anak-anak penyandang autisme memiliki perilaku yang berbeda-beda dengan tingkat permasalahan yang juga beragam. 

Ada yang mudah diarahkan dan tidak melakukan perlawanan saat terapi, ada yang tidak peduli aturan dan kerap mengabaikan perintah terapis karena selalu asyik dengan kesibukannya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun