terapis untuk anak penyandang autisme. Lebih kurang 3 tahun lamanya saya berjibaku dengan dunia anak-anak autis berikut cara mereka belajar.Â
Beberapa tahun yang silam, saya sempat menekuni sebuah profesi sebagaiSekilas kesan pertama orang saat mendengar profesi terapis ini seringkali dikaitkan dengan kegiatan pijat memijat atau orang yang kerjanya di salon dan klinik kecantikan.
Padahal, sederhananya terapis adalah orang yang melakukan terapi dan kegiatan terapi itu sendiri tidak melulu bersinggungan dengan pijat-pijatan. Seperti halnya terapis anak penyandang autisme misalnya, terapi yang diterapkan kepada mereka tidak lain merupakan proses belajar khusus dengan berbagai metodenya yang beragam dan tentunya berbeda dengan anak normal pada umumnya.
Anak penyandang autisme ini termasuk ke dalam golongan ABK (Anak Berkebutuhan Khusus). Hal yang paling diutamakan bagi siapa saja yang membersamai tumbuh kembang anak autis adalah kesabaran, terutama bagi terapis.
Terlepas dari beraneka lika-liku yang dijalani selama menjadi terapis, saya amat bersyukur mendapatkan pekerjaan ini tidak lama setelah pelaksanaan wisuda sarjana. Tidak ada spesifikasi jurusan khusus maupun embel-embel harus yang sudah memiliki pengalaman kerja.
Menjadi terapis penyandang autisme bahkan tidak selinear dengan latar belakang pendidikan saya semasa kuliah, tapi tak apalah hitung-hitung mengais ilmu dan wawasan baru yang lebih luas.
Saya menjalani masa training atau pelatihan secara bertahap di 3 bulan pertama, mulai dari mengikuti pembelajaran di workshop, melakukan observasi di ruang terapi atau biasa disebut kelas, menjadi bagian penilaian kemampuan anak saat proses terapi berlangsung, menjadi aster (asisten terapis) saat kegiatan terapi, lalu naik menjadi terapis 15 menit, kemudian 30 menit, 45 menit, 60 menit dan terakhir terapis 1 sesi yakni selama 1 jam 30 menit. Biasanya akan ada mentor yang bertugas mengevaluasi setiap tahapan training.Â
Tak hanya itu, setiap selesai sesi terapi maka terapis harus membuat laporan yang ditujukan kepada konsultan dan orang tua anak. Setiap pekannya juga ada rapat disertai presentasi masing-masing penanggung jawab anak guna membahas perkembangan kemampuan setiap anak.Â
Rumitkah? Bagi yang baru menjadi terapis tentu saja ribetnya minta ampun, sedangkan mereka yang sudah berpengalaman dan bertahun-tahun berkecimpung di pekerjaan ini mudah saja menyelesaikan segala problem yang ada.
Seperti halnya anak normal, anak-anak penyandang autisme memiliki perilaku yang berbeda-beda dengan tingkat permasalahan yang juga beragam.Â
Ada yang mudah diarahkan dan tidak melakukan perlawanan saat terapi, ada yang tidak peduli aturan dan kerap mengabaikan perintah terapis karena selalu asyik dengan kesibukannya sendiri.
Ada pula yang berperilaku agresif jika suasana hatinya sedang tidak baik seperti melempar barang, tantrum, memukul orang-orang sekelilingnya dan tidak jarang akan terjadi baku hantam di dalam kelas yang akhirnya membuat proses terapi tidak kondusif.
Hal tersebut merupakan tantangan utama yang harus ditaklukkan bagi seorang terapis. Bagaimanapun kondisi anak, terapis harus mampu mengendalikan suasana dan membuat kegiatan belajar atau terapi tetap berjalan hingga sesi berakhir.
Selanjutnya, jika terdapat permasalahan pada perkembangan anak yang berlarut-larut dan tak kunjung mendapatkan solusi, maka terapis adalah orang pertama yang akan dicecar konsultan terkait hal tersebut. Bagi yang tidak kuat mental akan mudah menangis dan bisa sampai kepikiran selama berhari-hari.
Di awal menjadi terapis, saya kerap mengalami hal seperti itu. Lantas salah senior saya memberikan wejangannya, "Ketika kaki kita sudah melangkah keluar dari klinik, sudahi pula pikiran kita dari berbagai persoalan tentang pekerjaan. Tahan-tahanlah barang sebentar menghadapi runyamnya pekerjaan di dalam klinik, setelah pulang lepaskanlah semuanya jangan ikut dibawa serta." Benar saja, ketika kami tidak sengaja bertemu di luar jarang sekali membicarakan seputar pekerjaan.
Terakhir, tanggung jawab moril. Setelah berkelebat dengan anak dan konsultan, terapis pasti berhadapan dengan orang tua anak terutama sang ibu.Â
Di sela-sela proses terapi, tak jarang seorang ibu menumpahkan segala isi hatinya yang beraneka macam. Mulai dari tidak mudahnya menghadapi anak dengan penyandang autisme terlebih jika mereka berperilaku agresif, lalu pengorbanan waktu, tenaga juga materi yang jumlahnya tidak sedikit untuk mengantarkan sang anak menjalani terapi. Sebagai orang tua, tentulah mereka menaruh harapan supaya anaknya bisa membaik dan diterima di masyarakat.
Saya menekuni dan menahankan segala lelah yang ada terkadang karena alasan-alasan yang bersumber dari nurani. Itu hanya sekilas tentang bagaimana seorang terapis menghadapi lika-liku pekerjaannya di tempat yang pernah saya singgahi. Mungkin di tempat lain akan berbeda terkait manajemen dan berbagai aturannya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H