Mohon tunggu...
Merina Puspita Sari
Merina Puspita Sari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Aktif

Saya Merina Puspita Sari seorang mahasiswi prodi Hukum, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel. Saya juga aktif mengikuti beberapa organisasi dan UKM di kampus, yakni ( Himpunan Mahasiswa, Law debate comunnity, Lembaga Pers Mahasiswa). Saya juga menjadi kontributor tulisan terkait isu-isu hukum nasional pada laman website @pinterhukum, dan Ar-rissalah. Tulisan saya terkait hukum merupakan wujud dari ketertarikan saya terhadap hukum sejak SMA, sehingga kecintaaan saya pada hukum menjadi semnagat dan motivasi untuk berkerja sebagai aparatur sipil negara.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

17 Pasal Bermasalah dalam KUHP Wajib Ditinjau Kembali!

25 Februari 2023   21:49 Diperbarui: 8 Mei 2023   09:41 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: identitasunhas.com| Tolak KUHP, Mahasiswa Unhas Turun Aksi

14. Pasal Kohabitasi : memunculkan legimasi persekusi dan melanggar ruang privat masyarakat serta berpotensi mempidana korban kekerasan seksual (Pasal 412 KUHP)

Tidak ada penjelasan terkait “hidup bersama sebagai suami istri”. Pasal ini berpotensi memunculkan persekusi dan melanggar ruang privat masyarakat. Adanya pasal yang mengatur kohabitasi ini juga berpotensi mempidanakan korban kekerasan seksual.  Pasal 412 KUHP memuat ancaman pidana bagi setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan. Pasal 412 KUHP pada hakikatnya berpotensi merugikan masyarakat, salah satunya karena tidak terdapat penjelasan lebih lanjut mengenai mengenai hal apa saja yang dapat menyebabkan suatu pasangan dianggap telah melakukan hidup bersama sebagai suami istri sehingga dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda. Lebih lanjut, Pasal 412 KUHP berpotensi mengkriminalisasi pasangan yang secara agama, adat, atau kepercayaan sudah sah menjadi suami istri, tetapi tidak memiliki akses terhadap pencatatan perkawinan sebagaimana dipersyaratkan dalam peraturan perundang-undangan. Hal tersebut pun dapat menyebabkan over-kriminalisasi akibat pemidanaan yang salah sasaran, yakni terhadap masyarakat yang terpinggirkan.

15. Penghapusan ketentuan yang tumpang tindih dalam UU ITE 

Seharusnya yang dilakukan adalah mencabut seluruh ketentuan pidana dalam UU ITE yang di duplikasi dalam KUHP, tidak hanya pada Pasal 27 ayat(1), 27 ayat (2), dan 28 ayat (2) UU ITE seperti (a) Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU ITE; (b) Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE; (c) Pasal 29 UU ITE. Selain itu, frasa “melakukan melalui sarana teknologi” sebagai pemberat menjadikan hal ini berbahaya karena misalnya, seseorang yang terkena ancaman pidana fitnah, bisa mendapat tambahan pidana dengan adanya frasa ini.

16. Memutihkan dosa negara dengan meniadakan asas retroaktif dan kekhususan kadaluarsa penuntutan (Pasal 598 & 599 KUHP)

Dalam KUHP baru, tidak ada ketentuan khusus terkait pengecualian asas non-retroaktif. Artinya, pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu dan sebelum KUHP diundangkan, tidak dapat dipidana setelah peraturan ini disahkan. Selain itu, pengaturan masa daluarsa yang diatur di KUHP juga berbahaya, sebab peristiwa pelanggaran HAM berat yang sudah berlangsung lebih dari 20 tahun tidak dapat lagi diadili. Pasal tindak pidana berat terhadap HAM di KUHP juga menihilkan pertanggungjawaban komando dan memiliki hukuman yang lebih ringan dibanding UU Pengadilan HAM.

17. Meringankan ancaman bagi koruptor (Pasal 603, 604, 605 dan 606 KUHP) 

Pengaturan kejahatan korupsi telah diatur di dalam KUHP pada Pasal 603 sd Pasal 606, akantetapi  hal ini terdapat permasalahan karena ancaman terhadap koruptor terlalu ringan dan tidak memberikan efek jera terhadap koruptor, padahal tindak pidana korupsi adalah kejahatan yang berdampak amat merugikan bagi masyarakat luas. Rendahnya ancaman pemidanaan bagi pelaku tipikor dalam KUHP baru membuat agenda pemberantasan korupsi mengalami kemunduran. Berdasarkan catatan ICW, sepanjang 2021 dari 1.282 perkara korupsi, rata-rata hukuman penjaranya hanya 3 tahun 5 bulan. “Pertanyaannya, bagaimana bisa pemerintah dan DPR berpikir bahwa di tengah meningkatnya kasus korupsi dan rendahnya hukuman bagi koruptor, justru dijawab dengan menurunkan ancaman hukum penjara bagi pelaku?”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun