Mohon tunggu...
Merina Puspita Sari
Merina Puspita Sari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Aktif

Saya Merina Puspita Sari seorang mahasiswi prodi Hukum, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel. Saya juga aktif mengikuti beberapa organisasi dan UKM di kampus, yakni ( Himpunan Mahasiswa, Law debate comunnity, Lembaga Pers Mahasiswa). Saya juga menjadi kontributor tulisan terkait isu-isu hukum nasional pada laman website @pinterhukum, dan Ar-rissalah. Tulisan saya terkait hukum merupakan wujud dari ketertarikan saya terhadap hukum sejak SMA, sehingga kecintaaan saya pada hukum menjadi semnagat dan motivasi untuk berkerja sebagai aparatur sipil negara.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

17 Pasal Bermasalah dalam KUHP Wajib Ditinjau Kembali!

25 Februari 2023   21:49 Diperbarui: 8 Mei 2023   09:41 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: identitasunhas.com| Tolak KUHP, Mahasiswa Unhas Turun Aksi

3. Masalah Pengaturan Pidana Denda (Pasal 81KUHP)

Dalam KUHP pada Pasal 81 telah diatur pengaturan pidana denda, jika pidana denda tidak di bayarkan kekayaan atau pendapatan terpidana dapat disita dan dilelang oleh Jaksa untuk melunasi Pidana denda yang tidak dibayar. Jika setelah penyitaan dan pelelangan pidana denda masih tidak terpenuhi maka sisa denda dapat diganti pidana penjara, pidana pengawasan atau pidana kerja sosial. Permasalahannya, Pidana denda tidak ditujukan untuk tujuan negara memperoleh pendapatan. Hal ini akan membawa masalah sosial, karena orang yang dijatuhi pidana denda akan diincar harta bendanya, termasuk orang miskin, pun jika tidak cukup masih harus mengganti dengan pidana penjara dan pidana lainnya.

4. Pasal terkait pidana mati (Pasal 100 KUHP)

Banyak negara di dunia telah menghapus pidana mati karena merampas hak hidup manusia sebagai karunia yang tidak bisa dikurangi atau dicabut oleh siapapun, bahkan oleh negara. Selain itu, banyak kasus telah terjadi dalam pidana mati yakni kesalahan penjatuhan hukuman yang baru diketahui ketika korban telah dieksekusi. Keberadaan pasal terkait pidana mati di RKUHP juga mendapat sorotan Internasional. Dalam Universal Periodic Review (UPR) setidaknya terdapat 69 rekomendasi dari 44 negara baik secara langsung maupun tidak langsung menentang rencana pemerintah Indonesia untuk mengesahkan KUHP, salah satunya rekomendasi soal moratorium atau penghapusan hukuman mati. 

5. Penambahan pemidanaan larangan menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila di muka umum: Pasal Subversif yang kembali muncul (Pasal 188)

Rapat Pembahasan RKUHP antara Pemerintah dan DPR Pada 24 November tiba- tiba memunculkan tambahan larangan dan ancaman pemidanaan bagi yang menyebarkan dan mengembangkan paham lain yang bertentangan dengan pancasila. Pasal ini sangat bermasalah. Tidak ada penjelasa dengan apa yang dimaksud dengan “paham yang bertentangan dengan pancasila”, siapa yang berwenang menentukan suatu paham bertentangan dengan pancasila. Pasal ini berpotensi mengkriminalisasi setiap orang terutama pihak oposisi pemerintah karena tidak ada penjelasan terkait “paham yang bertentangan dengan Pancasila”. Pasal ini akan menjadi pasal karet dan dapat menghidupkan konsep pidana subversif seperti yang terjadi di era orde baru.

6. Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden: Pasal Usang (Pasal 218-220 KUHP)

Pasal 218 hingga Pasal 220 KUHP memuat ancaman pidana penjara atau pidana denda bagi setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat martabat diri Presiden dan/atau Wakil Presiden. Berdasarkan Putusan MK tersebut juga mengamanatkan bahwa pasal-pasal yang memuat ketentuan sama atau serupa tidak dapat dimuat kembali dalam KUHP. Namun, KUHP justru mengabaikan Putusan MK tersebut dengan menghidupkan kembali pasal-pasal yang membawa semangat dan permasalahan yang sama. Maka dari itu, keberadaan Pasal 218 hingga Pasal 220 KUHP merupakan suatu bentuk kemunduran atau pembangkangan terhadap putusan MK. 

7. Penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara (Pasal 240 & 241 KUHP)

Pasal ini berpotensi menjadi pasal karet dan menjadi pasal anti demokrasi karena tidak ada penjelasan terkait kata “penghinaan”. Pasal ini bisa membungkam berpotensi digunakan untuk membungkam kritik terhadap pemerintah dan lembaga negara. Pasal 240 dan Pasal 241 KUHP memuat ancaman pidana penjara atau pidana denda bagi setiap orang di muka umum yang menghina pemerintah atau lembaga negara, baik secara lisan, tulisan, maupun melalui sarana teknologi informasi. Ketentuan terkait penghinaan terhadap pemerintah sejatinya pernah diatur dalam Pasal 154 dan Pasal 155 KUHP yang ditetapkan inkonstitusional oleh MK dalam Putusan MK Nomor 6/PUU-V/2007 karena tidak berdasar kepada asas kepastian hukum dan menghalang-halangi hak kebebasan berpendapat. Selain itu, ketentuan demikian juga berpotensi membuat pemerintah dan lembaga negara antikritik karena terdapat ketentuan yang melindunginya dari penghinaan tanpa parameter yang jelas.

8. Ancaman Pemidanaan (Baru) Terhadap pawai, unjuk rasa dan Demonstrasi yang tanpa pemberitahuan dan dianggap menggangu ketertiban umum (Pasal 256 KUHP)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun