Kokoliko duduk termenung di beranda rumahnya yang sederhana. Matanya menatap jauh ke hamparan sawah milik masyarakat lain yang mulai mengering karena musim kemarau.
Sementara dirinya sangatlah miskin, dia tidak memiliki sawah. Gubuk reyot warisan dari ayahnya berdiri di sudut desa yang sangat terpencil, yang tanahnya hanya cukup untuk gubuk mereka yang 4x6 meter saja.
Pikiran berkecamuk di kepalanya. Sudah beberapa bulan ini dia bolak-balik antara kantor desa dan dinas sosial. Semua demi satu tujuan: agar anaknya mendapatkan beasiswa KIP (Kartu Indonesia Pintar).
Bukan hanya itu, dia juga berharap mendapatkan bantuan sosial untuk keluarganya yang hidup dalam kesulitan. Namun, setiap usahanya berujung pada kekecewaan.
Di setiap kantor yang didatanginya, Kokoliko hanya mendapat jawaban yang sama:
"Maaf, kuota sudah penuh," atau "Coba ke dinas sosial kabupaten." Ia tahu, bantuan yang seharusnya didistribusikan dengan adil sering kali jatuh ke tangan orang-orang yang sebetulnya mampu.
Anak-anak pegawai atau kerabat kepala desa dan kepala dinas sosial selalu masuk daftar penerima bantuan, sementara anaknya yang miskin tetapi berprestasi justru dilewatkan.
Kokoliko tahu tidak adil, tetapi ia tak punya kuasa untuk melawan.
Pernah suatu kali, saat ia mengajukan proposal bantuan modal usaha untuk beternak ikan, ia berpikir ini akan menjadi solusi. Berbekal pengalamannya memelihara ikan semasa muda, ia yakin bisa menghidupkan ekonomi keluarganya melalui usaha tersebut.
Proposal yang ia tulis dengan hati-hati telah diserahkan kepada dinas terkait. Namun, tak ada kabar. Belakangan ia mendengar, bantuan itu dialihkan kepada orang lain, yang ternyata masih kerabat pejabat setempat.