Pemilihan oleh DPR sangat rentan terhadap transaksi politik, di mana calon kepala daerah sering kali harus "melobi" anggota DPRD untuk mendapatkan dukungan. Proses lobi ini kerap melibatkan dana besar, sehingga uang hanya berputar di kalangan elite politik.
Dengan kata lain, biaya yang dikeluarkan kandidat tidak berdampak langsung pada masyarakat luas, melainkan hanya memperkaya segelintir orang. Dampaknya, hasil pemilihan sering kali tidak mencerminkan kualitas kepemimpinan, melainkan kemampuan finansial kandidat untuk "memenangkan" anggota DPRD.
  Kembali ke Sistem Lama: Kemunduran atau Efisiensi?
  Jika pemilihan oleh DPR dianggap sebagai efisiensi, karena mengurangi biaya pelaksanaan pemilu, apakah itu sebanding dengan hilangnya partisipasi rakyat? Dari sudut pandang reformasi 1998, penghapusan hak rakyat untuk memilih langsung jelas merupakan kemunduran demokrasi.
Cita-cita reformasi adalah memberikan ruang sebesar-besarnya bagi rakyat untuk berpartisipasi, dan pemilihan melalui DPR bertolak belakang dengan semangat tersebut.
Pemilihan Langsung oleh Rakyat: Aspirasi Lebih Representatif, tetapi Berbiaya Tinggi
Setelah reformasi, Indonesia memperkenalkan pemilihan langsung sebagai bagian dari upaya untuk memperkuat demokrasi. Sistem ini memungkinkan masyarakat secara langsung menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin mereka.
Namun, implementasi pemilihan langsung juga memiliki tantangan, terutama dari segi biaya politik.
  Representasi Aspirasi Rakyat
  Pemilihan langsung adalah manifestasi demokrasi yang memberikan kekuasaan penuh kepada rakyat untuk menentukan pemimpin mereka. Kepala daerah yang terpilih melalui sistem ini memiliki legitimasi yang lebih kuat, karena mereka dipilih oleh mayoritas masyarakat.
Hal ini juga mendorong kepala daerah untuk lebih bertanggung jawab kepada rakyat, karena mereka menjadi pemilih langsung.