Tetapi di balik itu semua, ada rasa hampa yang sulit dijelaskan. Kadang mereka bertanya pada diri sendiri, "Kenapa ya aku begini? Apa aku harus melakukan sesuatu yang lebih berguna?" Tapi saat mencoba mulai sesuatu, saya malah merasa lelah dan akhirnya kembali ke ponsel.
Bukan mereka tidak ingin produktif. Namun, tekanan dari berbagai pihak membuat mereka merasa kehilangan arah. Orang tua ingin kami belajar terus-menerus, guru menuntut mereka berprestasi, dan teman-teman memberikan standar sosial yang harus mereka penuhi.
Saat semua itu terasa berat, "gabut" menjadi pelarian sementara.
Perspektif Guru
Sebagai guru, guru sering melihat fenomena "gabut" ini dari dekat. Di kelas, siswa-siswa saya sering mengeluh tidak ada yang menarik untuk dilakukan.
Padahal, tugas dan materi sudah guru siapkan dengan baik. Ketika guru bertanya kenapa mereka merasa bosan, mereka hanya menjawab, "Ah, Pak, nggak seru."
Hal ini membuat guru bertanya-tanya, apakah anak-anak zaman sekarang memang tidak bisa terlepas dari hiburan instan? Dunia digital telah membentuk kebiasaan mereka untuk mencari kepuasan seketika---dari scrolling media sosial hingga bermain game.
Saat sesuatu membutuhkan usaha lebih, seperti belajar atau berdiskusi, mereka merasa itu membosankan. Inilah yang membuat mereka selalu kembali kepada hape, yang ternyata membuang banyak waktu mereka.
Namun, pasti guru juga sadar bahwa menyalahkan murid mereka sepenuhnya tidak adil. Mungkin, metode pengajaran guru yang kurang relevan dengan kebutuhan siswa. Seharusnya guru mencoba mendekati para siswanya, memahami apa yang mereka cari, dan memberikan tantangan yang sesuai dengan minat mereka. Tetapi tetap saja, mengatasi "gabut" bukanlah hal yang mudah.
Perspektif Psikolog
Secara psikologis, "gabut" sebenarnya adalah tanda bahwa anak muda sedang berada dalam kondisi kebingungan atau kekosongan. Mereka mungkin merasa tidak memiliki tujuan yang jelas, sehingga memilih untuk melakukan hal-hal sederhana yang tidak memerlukan usaha besar.