Mohon tunggu...
Yovinus
Yovinus Mohon Tunggu... Penulis - laki-laki

Hidup itu begitu indah, jadi jangan disia-siakan. Karena kehidupan adalah anugerah Tuhan yang paling sempurna bagi ciptaanNya

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Gabut: Fenomena Anak Muda di Era Digital

7 Desember 2024   06:39 Diperbarui: 7 Desember 2024   11:40 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perspektif Orang Tua

Sebagai orang tua, saya sering melihat anak-anak muda sekarang menghabiskan waktu dengan aktivitas yang menurut saya tidak produktif.

Anak saya, misalnya, suka sekali menghabiskan waktu di depan layar ponsel tanpa tujuan yang jelas. Ketika ditanya, ia hanya menjawab, "Lagi gabut, Pa."

Istilah ini, "gabut," terasa asing bagi saya pada awalnya. Apa itu gabut? Kenapa anak-anak zaman sekarang seperti tidak tahu harus melakukan apa?

Dulu, waktu saya muda, kata "bosan" hampir tidak ada dalam kamus hidup saya. Kami selalu sibuk---entah membantu orang tua di ladang, bersekolah, atau bermain di luar rumah bersama teman-teman.

Kami jarang merasa tidak punya sesuatu untuk dilakukan. Namun, anak-anak sekarang sepertinya memiliki terlalu banyak waktu luang tetapi tidak tahu bagaimana cara mengisinya.

Perspektif Anak Muda

Bagi anak muda, sebenarnya kata "gabut" bukan berarti malas. Kadang mereka hanya butuh waktu untuk tidak melakukan apa-apa, terutama setelah menjalani rutinitas yang padat.

Sekolah mulai pagi sampai sore, ditambah tugas yang bertumpuk, membuat mereka merasa lelah. Jadi, ketika ada waktu kosong, mereka ingin menikmatinya tanpa tekanan. Tapi sering kali, orang dewasa melihat ini sebagai tanda kemalasan.

Misalnya, ada anak muda yang suka scrolling media sosial saat sedang gabut. Rasanya menyenangkan melihat video lucu, tren baru, atau sekadar membaca meme.

Tetapi di balik itu semua, ada rasa hampa yang sulit dijelaskan. Kadang mereka bertanya pada diri sendiri, "Kenapa ya aku begini? Apa aku harus melakukan sesuatu yang lebih berguna?" Tapi saat mencoba mulai sesuatu, saya malah merasa lelah dan akhirnya kembali ke ponsel.

Bukan mereka tidak ingin produktif. Namun, tekanan dari berbagai pihak membuat mereka merasa kehilangan arah. Orang tua ingin kami belajar terus-menerus, guru menuntut mereka berprestasi, dan teman-teman memberikan standar sosial yang harus mereka penuhi.

Saat semua itu terasa berat, "gabut" menjadi pelarian sementara.

Perspektif Guru

Sebagai guru, guru sering melihat fenomena "gabut" ini dari dekat. Di kelas, siswa-siswa saya sering mengeluh tidak ada yang menarik untuk dilakukan.

Padahal, tugas dan materi sudah guru siapkan dengan baik. Ketika guru bertanya kenapa mereka merasa bosan, mereka hanya menjawab, "Ah, Pak, nggak seru."

Hal ini membuat guru bertanya-tanya, apakah anak-anak zaman sekarang memang tidak bisa terlepas dari hiburan instan? Dunia digital telah membentuk kebiasaan mereka untuk mencari kepuasan seketika---dari scrolling media sosial hingga bermain game.

Saat sesuatu membutuhkan usaha lebih, seperti belajar atau berdiskusi, mereka merasa itu membosankan. Inilah yang membuat mereka selalu kembali kepada hape, yang ternyata membuang banyak waktu mereka.

Namun, pasti guru juga sadar bahwa menyalahkan murid mereka sepenuhnya tidak adil. Mungkin, metode pengajaran guru yang kurang relevan dengan kebutuhan siswa. Seharusnya guru mencoba mendekati para siswanya, memahami apa yang mereka cari, dan memberikan tantangan yang sesuai dengan minat mereka. Tetapi tetap saja, mengatasi "gabut" bukanlah hal yang mudah.

Perspektif Psikolog

Secara psikologis, "gabut" sebenarnya adalah tanda bahwa anak muda sedang berada dalam kondisi kebingungan atau kekosongan. Mereka mungkin merasa tidak memiliki tujuan yang jelas, sehingga memilih untuk melakukan hal-hal sederhana yang tidak memerlukan usaha besar.

Era digital juga memperparah fenomena ini. Anak muda kini hidup dalam dunia yang serba cepat, di mana hiburan, informasi, dan interaksi sosial dapat diakses hanya dengan satu sentuhan jari.

Akibatnya, mereka kehilangan kemampuan untuk menikmati momen-momen sederhana atau menghadapi kebosanan dengan cara yang konstruktif.

Fenomena "gabut" ini juga bisa menjadi alarm. Anak-anak muda mungkin sebenarnya sedang mencari pelarian dari tekanan sosial, akademik, atau emosional.

Daripada melihat ini sebagai masalah yang harus disalahkan, orang tua, pendidik, dan masyarakat perlu memahami apa yang ada di balik perilaku ini.

Perspektif Anak Muda yang Produktif

Tidak semua anak muda terjebak dalam fenomena gabut. Ada di antara anak muda yang justru memanfaatkan waktu luang untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat. Misalnya, mencoba memulai bisnis kecil-kecilan di media sosial.

Saat yang lainnya asyik scrolling tanpa tujuan, beberapa anak muda memanfaatkan platform yang sama untuk memasarkan produk.

Namun, anak muda yang demikan sibuk pun tidak menyangkal bahwa kadang mereka juga merasa ingin "gabut." Menjadi produktif setiap waktu itu melelahkan. Mereka hanya belajar bagaimana mengelola waktu agar tidak tenggelam dalam kebosanan yang berlebihan.

Menemukan tujuan hidup adalah kunci. Ketika kita tahu apa yang ingin dicapai, waktu luang menjadi peluang, bukan jebakan.

Perspektif Teknologi

Dari sisi teknologi, fenomena gabut pada anak muda adalah konsekuensi dari kemajuan zaman. Platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube diciptakan untuk memberikan hiburan instan.

Algoritmanya dirancang untuk membuat pengguna terus terhubung, bahkan saat mereka sebenarnya tidak membutuhkan apa pun.

Namun, teknologi bukanlah musuh. Ia adalah alat. Anak muda bisa menggunakan teknologi untuk hal-hal yang produktif, seperti belajar keterampilan baru, menjalin koneksi profesional, atau membangun karier di dunia digital.

Masalahnya adalah, tanpa bimbingan dan kesadaran, teknologi lebih sering menjadi sarana pelarian daripada alat pengembangan diri.

Kolaborasi untuk Mengatasi Gabut

Mengatasi fenomena gabut pada anak muda bukanlah tanggung jawab satu pihak saja. Orang tua, guru, pemerintah, bahkan anak muda itu sendiri perlu berkolaborasi.

Berikut beberapa solusi yang dapat dipertimbangkan:

    Meningkatkan Kualitas Pendidikan: Kurikulum perlu dirancang agar lebih relevan dengan kebutuhan anak muda. Pembelajaran berbasis proyek atau minat dapat membantu mereka merasa lebih terlibat.

    Memberikan Bimbingan Karier Sejak Dini: Anak muda perlu diberikan panduan untuk menemukan minat dan bakat mereka. Dengan begitu, mereka bisa memanfaatkan waktu luang untuk mengejar hal yang benar-benar berarti.

    Mengajarkan Manajemen Waktu: Anak muda perlu belajar bagaimana mengatur waktu antara aktivitas produktif dan waktu santai.

    Meningkatkan Kesadaran Teknologi: Pendidikan tentang penggunaan teknologi yang bijak harus diperkenalkan sejak dini.

Masa Depan Anak Muda

Fenomena gabut adalah cerminan dari tantangan zaman. Ini bukan hanya tentang anak muda yang "malas" atau "tidak tahu arah," tetapi juga tentang bagaimana kita sebagai masyarakat memberikan dukungan, peluang, dan pemahaman kepada mereka.

Bagi anak muda, gabut bukan akhir dari segalanya. Justru, itu adalah tanda bahwa mereka sedang mencari sesuatu---entah itu tujuan hidup, pelarian dari tekanan, atau sekadar momen untuk beristirahat. Dengan bimbingan yang tepat, gabut bisa diubah menjadi waktu luang yang penuh makna.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun