“Kerja keras ngedit suara?” balas Murad santai.
Petugas itu hanya menghela napas panjang dan mempersilakan Murad masuk ke bilik suara.
Di dalam bilik suara, Murad membuka surat suara. Wajah dua calon bupati terpampang jelas: calon bodoh tersenyum seperti mau jual panci, sementara calon koruptor menatap seperti hakim yang baru saja menang undian mobil.
Murad menggeleng sambil terkekeh kecil.
“Dua-duanya nggak pantas,” gumamnya. Dengan sengaja, dia mencoret seluruh surat suara dan menulis besar-besar: “HIDUP KPPS DAN SEMBAKO GRATIS!”
Setelah itu, Murad memasukkan surat suara ke kotak dan pulang dengan hati puas.
Namun, drama tidak berhenti di TPS. Malam harinya, hasil sementara Pilkada diumumkan di balai desa lewat pengeras suara. Calon bodoh unggul jauh dari calon koruptor.
“Wah, menang dia, Rad!” Udin datang berlari-lari ke rumah Murad sambil membawa radio kecil.
Murad hanya tertawa. “Sudah kuduga. Orang-orang lebih peduli sembako dan dangdut daripada masa depan.”
“Kalau gitu, kenapa nggak ikutan nyicip sembako? Sayang, kan?” goda Udin.
“Ah, aku cukup makan gorengan saja,” jawab Murad santai. “Setidaknya gorengan ini tidak pakai janji palsu.”