Obrolan mereka penuh dengan istilah seperti "politik uang," "perahu partai," dan "kemenangan rakyat." Tapi bagi Murad, semua itu hanya kamuflase untuk satu hal: duiitt!
"Eh, tahu nggak," kata Pak Komar, pelanggan setia warung kopi. "Katanya calon bodoh sama calon koruptor itu bayar partai tiga puluh milyar, lho. Gede banget duitnya!”
Murad yang tadinya diam langsung tersedak kopinya. “Apa?! Tiga puluh milyar? Untuk partai? Yang benar saja, Pak Komar.”
“Serius!” Komar mengangguk yakin. “Aku dengar dari si Wagiman, yang dapat info dari adiknya yang kerja di kantor partai itu.”
Murad mengerutkan dahi, mencoba mencerna informasi itu. “Katanya, partai-partai itu bersih dan di garda depan memberantas korupsi. Tapi kok terima uang tiga puluh milyar?”
Komar tertawa kecil. “Ah, itu cuma omong kosong, Murad. Partai mana yang nggak main duit sekarang?”
Murad meneguk kopinya sambil berpikir keras. Apa benar tiga puluh milyar itu cuma permainan anak buah di bawah, atau ketua partainya juga tahu? Atau malah semuanya ikut bermain?
Di malam harinya, Murad tak bisa tidur. Pikirannya terus berputar tentang rumor itu. Dia ingat spanduk besar-besaran calon bodoh yang seolah-olah ingin menutupi setiap sudut desa.
Biayanya pasti mahal. Begitu juga dengan calon koruptor yang mengadakan acara mewah di hotel kota. Semua itu jelas membutuhkan banyak uang. Dan kalau benar partai-partai itu menerima bayaran tiga puluh milyar, siapa yang bisa menjamin pemimpin partainya tidak ikut terlibat?
“Marni, kamu tidur nggak?” tanya Murad sambil memelototi langit-langit kamar.
“Tidur, kalau nggak diganggu suami,” jawab Marni malas.