Desa Ngawur seperti biasa riuh setiap kali Pilkada mendekat. Spanduk-spanduk calon bupati menjamur di mana-mana. Wajah-wajah mereka menghiasi tembok, tiang listrik, bahkan pintu toilet umum.
Pilkada kali ini menghadirkan empat calon bupati, masing-masing dengan gaya dan reputasi yang unik.
Pertama, ada si Bodoh, calon yang selalu salah ucap dan sering terlihat tidak memahami permasalahan desa. Meskipun bukan nMuslim, calon ini mengucapkan salam sewaktu kampanye di depan para masyarakat Muslim, tetapi ucapannya salah. Assalamualaikum warahmahtullahi walabarakabarakatuhu ... Meski begitu, ia rajin membagi-bagikan sembako.
Kedua, si Koruptor, mantan pejabat yang dikenal gemar memanfaatkan kekuasaan untuk memperkaya diri. Dengan kampanye besar-besaran, ia menjanjikan proyek-proyek pembangunan yang mewah.
Ketiga, pendatang baru: si Flamboyan, seorang pria yang gemar tampil mencolok dengan pakaian warna-warni. Ia juga sering membuat janji besar yang mustahil, seperti membangun bandara internasional di Desa Ngawur. Meski banyak yang tahu janjinya hanya mimpi kosong, gaya komunikasinya yang karismatik menarik perhatian banyak warga.
Keempat, si Jengkol, seorang pria licik yang terkenal pandai berbohong. Ia selalu mampu memutarbalikkan fakta dengan cara yang meyakinkan. Warga sering terkesima oleh pidatonya, meskipun tahu bahwa kata-katanya jarang benar. Di luar kampanye, si Jengkol sering menghabiskan uang untuk bersenang-senang dengan gadis-gadis muda dan artis.
Bagi Murad, keempat calon ini seperti komedi berjalan. Karena bagi Murad, Pilkada kali ini adalah ajang menonton komedi gratis. Dia sudah bulat memutuskan: tidak akan memilih siapa pun.
“Murad! Kamu benar-benar nggak mau milih?” tanya Marni, istrinya, sambil menyapu halaman. “Jangan sampai nanti KTP kita digadaikan KPPS buat nambah suara calon.”
Murad yang sedang memakan gorengan hanya mengedikkan bahu. “Mau digadaikan kek, mau dijual sekalian juga nggak apa. Toh, percuma. Pilih yang satu dapat bodoh, pilih yang satu lagi dapat koruptor. Pilih yang satu GayA, suka berjanji palsu dan tidak masuk akal. Apalagi yang satunya, jago main perempuan dan suka berfoya-foya. Enakan nggak milih aja.”
Marni menghentikan sapunya dan menatap suaminya dengan tajam. “Halah, males kamu itu, ya. Mau malesin aja!”