Stevonia mencoba tetap tenang. "Nia, aku tahu kamu marah. Aku mengerti. Tapi coba dengarkan aku sebentar saja."
"Hm, bicara saja. Aku tidak punya banyak waktu untuk bicara soal keputusan bodoh itu," jawab Nia, nada suaranya penuh luka.
"Rendra sudah berjuang sendirian selama beberapa bulan," ucap Stevonia. "Kamu tahu sendiri, dia harus mengurus anak-anak, rumah, dan pekerjaannya. Bahkan kebutuhan biologisnya, Nia, itu manusiawi. Kami hanya ingin dia punya pasangan yang bisa membantunya menjalani hidup ini. Kami tidak mendukung karena tidak peduli. Justru karena kami peduli."
Nia terdiam. Ada keheningan yang menggantung di antara mereka. Stevonia hampir berpikir bahwa adiknya sudah menutup telepon, tetapi kemudian Nia berbicara, suaranya lebih lembut, namun tetap tergores amarah yang tertahan.
"Kak, aku tahu Rendra kesulitan. Aku tahu," katanya pelan. "Tapi aku tidak bisa menerima ini begitu saja. Seolah-olah mendiang kakak kita dilupakan. Seolah-olah... semua usahanya dulu sia-sia."
Stevonia merasakan air mata menetes di pipinya. "Nia, tidak ada yang melupakan almarhumah. Kita semua merindukannya, setiap hari. Tapi hidup harus terus berjalan. Dan soal anak-anak kami yang tinggal di rumah Rendra, kami akan mencari membicarakan solusi, memastikan mereka tetap nyaman."
Perlahan, suara Nia melemah. "Kak, aku hanya ingin keluarga ini tetap utuh. Aku tidak mau ada perpecahan."
"Kita semua tidak mau, Nia," jawab Stevonia dengan lembut. "Mari kita coba bicara baik-baik, bukan dengan kemarahan, tapi dengan hati yang terbuka."
Setelah obrolan itu, suasana sedikit mereda, meski konflik masih terasa tegang. Pak Rendi akhirnya memposting penjelasan panjang di grup keluarga, mencoba menenangkan kemarahan yang masih bergejolak.
Ia menulis dengan bijak, menekankan bahwa keputusan Rendra untuk menikah bukanlah bentuk pelarian, melainkan usaha untuk menciptakan hidup yang lebih baik, untuk dirinya dan anak-anaknya.
Di luar rumah, hujan mulai turun perlahan, membasahi bumi dengan gemericik lembut. Stevonia dan Pak Rendi duduk berdua, saling menguatkan.