Mohon tunggu...
Yovinus
Yovinus Mohon Tunggu... Penulis - laki-laki

Hidup itu begitu indah, jadi jangan disia-siakan. Karena kehidupan adalah anugerah Tuhan yang paling sempurna bagi ciptaanNya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Malam Undangan yang Mengusik

12 November 2024   14:59 Diperbarui: 19 November 2024   07:21 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Stevonia mencoba tetap tenang. "Nia, aku tahu kamu marah. Aku mengerti. Tapi coba dengarkan aku sebentar saja."

"Hm, bicara saja. Aku tidak punya banyak waktu untuk bicara soal keputusan bodoh itu," jawab Nia, nada suaranya penuh luka.

"Rendra sudah berjuang sendirian selama beberapa bulan," ucap Stevonia. "Kamu tahu sendiri, dia harus mengurus anak-anak, rumah, dan pekerjaannya. Bahkan kebutuhan biologisnya, Nia, itu manusiawi. Kami hanya ingin dia punya pasangan yang bisa membantunya menjalani hidup ini. Kami tidak mendukung karena tidak peduli. Justru karena kami peduli."

Nia terdiam. Ada keheningan yang menggantung di antara mereka. Stevonia hampir berpikir bahwa adiknya sudah menutup telepon, tetapi kemudian Nia berbicara, suaranya lebih lembut, namun tetap tergores amarah yang tertahan.

"Kak, aku tahu Rendra kesulitan. Aku tahu," katanya pelan. "Tapi aku tidak bisa menerima ini begitu saja. Seolah-olah mendiang kakak kita dilupakan. Seolah-olah... semua usahanya dulu sia-sia."

Stevonia merasakan air mata menetes di pipinya. "Nia, tidak ada yang melupakan almarhumah. Kita semua merindukannya, setiap hari. Tapi hidup harus terus berjalan. Dan soal anak-anak kami yang tinggal di rumah Rendra, kami akan mencari membicarakan solusi, memastikan mereka tetap nyaman."

Perlahan, suara Nia melemah. "Kak, aku hanya ingin keluarga ini tetap utuh. Aku tidak mau ada perpecahan."

"Kita semua tidak mau, Nia," jawab Stevonia dengan lembut. "Mari kita coba bicara baik-baik, bukan dengan kemarahan, tapi dengan hati yang terbuka."

Setelah obrolan itu, suasana sedikit mereda, meski konflik masih terasa tegang. Pak Rendi akhirnya memposting penjelasan panjang di grup keluarga, mencoba menenangkan kemarahan yang masih bergejolak.

Ia menulis dengan bijak, menekankan bahwa keputusan Rendra untuk menikah bukanlah bentuk pelarian, melainkan usaha untuk menciptakan hidup yang lebih baik, untuk dirinya dan anak-anaknya.

Di luar rumah, hujan mulai turun perlahan, membasahi bumi dengan gemericik lembut. Stevonia dan Pak Rendi duduk berdua, saling menguatkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun