"Tapi kenapa mereka marah pada kita?" tanya Stevonia, berusaha memahami kekusutan ini.
Pak Rendi menatap istrinya, mencoba menenangkan dirinya sebelum menjelaskan. "Mereka menganggap kita mendukung keputusan Rendra tanpa memikirkan perasaan anak-anak dan keluarga almarhumah istrinya. Mereka berpikir kita egois karena tidak melarang."
Stevonia menarik napas dalam-dalam. Perasaan terombang-ambing antara memahami kemarahan keluarganya dan rasa empati yang besar terhadap Rendra. Ia ingat, bulan-bulan terakhir, betapa lelahnya Rendra berjuang.
Setiap kunjungan ke rumah Rendra, ia menyaksikan betapa sulitnya pria itu berperan sebagai ayah dan ibu sekaligus, merawat anak-anaknya yang semakin besar dan menangani pekerjaan rumah tangga tanpa bantuan.
Notifikasi grup WA terus berdenting, seolah menambah ketegangan malam itu. Stevonia mendekati suaminya, mencoba membaca percakapan yang bergulir dengan cepat di layar telepon. Kalimat-kalimat yang muncul penuh emosi:
"Ini sungguh keputusan egois! Apa Rendra sudah lupa betapa sulitnya kita melepas kepergian adik kita dulu? Tidak bisakah dia menunggu lebih lama, atau setidaknya menghormati keluarga mendiang?" bunyi WA dari Suparti.
"Aku tidak habis pikir! Mengapa kalian, Stevonia dan Rendi, mendukung ini? Kalian tahu betapa mendiang kakak kita berjuang untuk anak-anaknya. Sekarang, hanya beberapa bulan berlalu, dan dia sudah mau menikah lagi?" sambung Nia.
Stevonia merasakan kepedihan dalam kata-kata mereka, seakan-akan dirinya turut tersudutkan dalam keputusan yang bukan miliknya. Ia menoleh pada Pak Rendi, matanya memancarkan kelelahan yang sama.
Namun selain itu, Stevonia ingat adik dan kakaknya ini bukan juga orang baik. Kakaknya walaupun sudah bersuami, masih pacaran dengan puluhan orang. Adiknya begiut juga, meskipun sudah bersuami, beberapa kali juga berselingkuh sampai memiliki anak.
Mereka saja bukan orang baik-baik, mengapa begitu teganya menghakimi Rendra. Adik mereka kan sudah meninggal, calon istri Rendra ini pun janda. Tidakkah mereka seharusnya bersyukur jika Rendra menikah lagi, sehingga bebannya mengurus anak-anaknya bisa lebih ringan.
Hidupkan harus berjalan, yang mati biarlah di alam sana. Tetapi yang hidup, mesti meneruskan kehidupoamnya. Bukannya kita tidak peduli, tetapi dunia kita sudah berbeda. Itu suatu fakta.