Stevonia membuka pintu pelan. Di depan pintu berdiri keponakannya, Dita, bersama saudaranya yang lebih kecil dan seorang pria yang tampak lelah namun tegar---saudara iparnya, Pak Hendra.
"Tante, maaf ya kalau mengganggu," ucap Dita sambil tersenyum tipis, memperlihatkan gurat keletihan di wajahnya.
Mereka bertiga masuk, membawa sejumput hawa dingin malam yang menelusup ke dalam rumah. Pak Hendra, yang tampak lebih tua dari usianya karena selalu kerja keras. Â
Kelulusan P3K mereka belum ada kepastiannya, kata bupati sih belum ada dananya. Pak Hendra lalu duduk di kursi kayu tua, Ia menundukkan kepala sejenak, seperti mencari kata-kata yang pas.
Stevonia mengedarkan pandangan, seolah memastikan ada cukup kehangatan di ruang tamu kecil ini untuk menyambut tamu-tamunya. "Ada apa ya, pak Hendra? Tumben malam-malam begini ke sini,"Â sapa Stevonia.
Pak Hendra menghela napas panjang. "Kami ingin memberi kabar, Stev. Kabar baik..." Matanya yang teduh menyiratkan kebahagiaan bercampur haru.
Dita menyela dengan nada ceria yang sedikit kaku, "Tante, ayah... ayah akan menikah."
Wajah Stevonia sontak menegang, lalu perlahan mencair, membentuk senyum lebar yang penuh ketulusan. "Ya ampun, ini kabar besar! Tapi kenapa... kenapa kalian datang malam-malam begini?"
"Kami tadi pulang dari undangan keluarga calon istri ku," jawab Pak Hendra.
"Kami pikir, karena melewati sini, lebih baik langsung mampir untuk memberitahu kabar ini. Sekalian minta bantuan... kalau Tante bisa, tolong post di grup WA keluarga ya. Undangan resmi nanti menyusul, tapi kami ingin semua tahu."
Stevonia memandang Dita, yang wajahnya kini berseri-seri meski tampak lelah. Dita dan adiknya sudah lama tidak punya ibu, jadi wajarlah ayah mereka mau menikah lagi, menikah tentu adalah keputusan yang membawa kebahagiaan sekaligus tantangan besar.