Mohon tunggu...
Yovinus
Yovinus Mohon Tunggu... Penulis - laki-laki

Hidup itu begitu indah, jadi jangan disia-siakan. Karena kehidupan adalah anugerah Tuhan yang paling sempurna bagi ciptaanNya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pentingkah Saya? Sebuah Wacana tentang Perasaan yang Terabaikan

1 November 2024   16:17 Diperbarui: 1 November 2024   16:32 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudut Pandang Pengirim

Aku menatap layar ponsel yang sepertinya tak mau beranjak dari status diam. Ada pesan di sana, sebuah pesan sederhana yang aku kirimkan sejak tiga hari lalu.

Kata-katanya singkat, penuh harap namun tidak menuntut: "Hai, gimana kabarnya? Semoga harimu menyenangkan." Bukan pesan yang aneh atau sulit dijawab, hanya bentuk perhatian kecil dari aku, seseorang yang peduli. Tapi... dia tidak membacanya.

Pikiranku tak berhenti memutar serangkaian skenario. Apa dia sibuk? Mungkin pekerjaannya benar-benar menyita waktu, atau mungkin dia sedang di tempat yang tanpa sinyal. Tapi, aku tahu itu tidak masuk akal.

Di zaman seperti sekarang, siapa yang tak membawa ponsel ke mana-mana? Dengan teknologi dan notifikasi yang terus menyalakan layar setiap menitnya, sangat sulit membayangkan dia tidak menyadari pesan itu.

Berulang kali aku memeriksa apakah ada tanda biru, tanda bahwa pesan sudah dibaca. Aku mulai merasa semakin kecil setiap kali memandang ikon pesan itu yang tetap saja abu-abu.

Mungkin aku terlalu berharap, atau mungkin aku memang menuntut perhatian yang seharusnya tak kumiliki. Mengapa dia tidak membalas? Bagiku, tidak ada hal yang lebih menghantui selain ketidakpastian.

2. Sudut Pandang yang Diabaikan

Di tengah kegelisahanku, pertanyaan itu terus menghantui. Tidak mungkin dia tidak tahu pesanku menunggu, tidak mungkin dia melewatkannya begitu saja. Apakah aku begitu tidak penting?

Di era di mana komunikasi terhubung dengan ketukan jari, tak membalas pesan seseorang terasa seperti mengabaikan kehadiran mereka dalam hidup kita. Sakit rasanya, menyadari betapa kecil peranku dalam dunianya, betapa aku mudah saja dilewatkan.

Bagaimana jika dia marah atau kecewa karena sesuatu yang aku lakukan tanpa sadar? Aku berusaha mengingat kembali setiap kata terakhir yang kami tukar, setiap percakapan yang mungkin meninggalkan kesan buruk.

Namun, semuanya terasa biasa, tak ada percikan konflik yang jelas. Hanya kebisuan ini yang tumbuh menjadi celah lebar, seperti tembok yang tak terjangkau.

Atau mungkin, lebih mengerikan lagi, dia benar-benar tidak peduli. Mungkin aku hanyalah bayangan yang tak punya tempat dalam harinya. Bayangan yang menanti, tapi tak pernah cukup berarti.

3. Sudut Pandang Seorang Sahabat

Melihat teman terbaikku, seseorang yang begitu hidup dan bersemangat, kini tenggelam dalam kesedihan hanya karena pesan tak terjawab, membuatku kesal.

Kupikir, "Mengapa kamu harus menyiksa diri seperti ini?" Dunia ini luas, orang-orang sibuk, dan tak semua hal bisa dipersonalisasi seburuk itu.

"Hei, ayolah," aku mencoba menghiburnya, "Bisa saja dia benar-benar sibuk. Dunia ini tidak berputar hanya untuk kita."

Tapi di dalam hati, aku tahu aku juga mulai mempertanyakan mengapa seseorang bisa begitu cuek. Apakah itu hanya sebuah kebetulan, atau memang ada alasan tersembunyi di balik keengganannya?

Aku ingat pernah berada di posisi itu. Posisi di mana pesan-pesan yang dikirim tak pernah dibalas, di mana penantian menjadi rutinitas yang menyiksa. Merasa diabaikan oleh seseorang yang penting membuat kita mempertanyakan diri sendiri.

Kadang, kita harus menyadari bahwa tidak membalas bisa berarti berbagai hal---tidak semuanya buruk, meski tak semuanya melegakan.

Sebagai sahabat, aku merasa tugasku untuk mengalihkan perhatiannya, membawanya kembali ke realita di mana ia tahu bahwa dia tetap berharga, bahkan jika seseorang yang diharapkannya tidak bisa memberikan respons yang diinginkan. Tapi kata-kata tak selalu cukup; hati punya jalannya sendiri dalam menafsirkan diam.

4. Sudut Pandang Si Pengirim yang Tak Merasa Bersalah

Aku yang menerima pesan itu tidak selalu memikirkan dampak ketidaksediaanku untuk membalas. Kadang, hal-hal sederhana seperti membaca pesan bisa menjadi beban. Mungkin aku tampak tak peduli, tetapi kenyataannya adalah aku memerlukan ruang.

Hidup modern ini begitu terhubung, begitu melelahkan. Ada tekanan untuk merespons segera, untuk selalu tersedia, untuk menyusun kata-kata yang tepat di setiap percakapan.

Pesan itu muncul, benar, dan aku melihatnya. Jujur saja, bukan karena aku tidak peduli, tapi karena aku merasa tidak memiliki energi untuk terlibat. Mungkin hari itu terlalu berat, mungkin aku merasa kosong dan tak ingin berbicara.

Bukannya aku tak memikirkan dia, orang yang mengirim pesan itu. Justru, aku takut akan menambah rasa sakit jika aku membalas dengan kalimat yang tidak tulus.

Ironis, mungkin. Tapi di dunia yang terus berputar ini, kadang orang-orang tidak menyadari beban yang kita bawa. Mungkin yang kuperlukan hanyalah waktu, hingga akhirnya aku bisa merespons tanpa ada rasa terpaksa.

5. Sudut Pandang Netral: Refleksi Sosial

Kita hidup di zaman yang membuat komunikasi seolah-olah tak terbatas. Setiap pesan, setiap notifikasi, bisa menjadi perpanjangan dari perhatian atau tanda penghormatan.

Namun, keterbukaan ini juga membuat kita terperangkap dalam jaringan keharusan yang tak terlihat. Tak membalas pesan seseorang bisa berarti begitu banyak hal: kelalaian, kesibukan, ketidakpedulian, atau bahkan sesuatu yang lebih dalam seperti krisis pribadi.

Ponsel kita adalah alat komunikasi, tetapi juga gerbang ke dunia yang melelahkan. Saat seseorang memilih untuk tidak membuka pesan, kita sebagai pengirim sering kali melupakan bahwa manusia di seberang sana memiliki kehidupan yang mungkin sedang porak-poranda.

Ketakutan dan kecemasan kita diakibatkan oleh harapan, dan teknologi, yang membuat jarak terasa lebih dekat, juga memperburuk penantian. Memang, di zaman sekarang, sulit membayangkan bahwa seseorang tidak menyadari kehadiran pesan yang masuk ke ponsel mereka.

Dengan notifikasi yang mengingatkan secara konstan, baik dalam bentuk suara, getaran, maupun peringatan visual yang menyala terang, tidak mungkin seseorang benar-benar tidak tahu bahwa ada pesan menunggu.

Bahkan, ketika ponsel berada dalam mode diam atau getar, tetap saja, notifikasi itu masih terasa atau terlihat bagi penggunanya. Maka, ketika seseorang dengan sengaja tidak membuka pesan yang telah kita kirim, rasa sakit hati dan kekecewaan tentu saja muncul.

Ketika pesan kita tidak direspons, pemikiran pertama yang sering muncul adalah bahwa kita mungkin tidak cukup penting bagi mereka.

Ponsel, benda kecil yang hampir selalu dalam genggaman, seolah-olah menjadi saksi diam dari ketidakpedulian yang membuat hati berdebar cemas.

Kita bertanya-tanya, "Mengapa dia memilih untuk tidak membalas?" dan sering kali jawabannya mengarah pada perasaan bahwa kita hanyalah seseorang yang mudah diabaikan dalam dunianya.

Mungkin bukan hanya tentang pesan yang tak terbaca, tetapi tentang rasa kita yang terlalu rentan terhadap tanda-tanda kecil. Kehilangan balasan atau perhatian dalam dunia yang ramai dan hiruk-pikuk adalah kenyataan yang menyakitkan, tapi barangkali juga pengingat akan batasan manusia di balik layar.

Akhirnya, keheningan sebuah pesan bisa menjadi kisah sendiri. Bukan hanya kisah yang bicara tentang tidak peduli, tapi juga tentang harapan yang hilang, ruang pribadi yang harus dihormati, dan pergulatan batin antara teknologi dan emosi manusia.

Bagi si pengirim, keheningan bisa terasa seperti hukuman, bagi si penerima, itu bisa menjadi benteng perlindungan. Inilah ironi zaman kita, di mana segala sesuatu begitu mudah dijangkau, tetapi perasaan tetap tak sepenuhnya bisa dipahami.

Jika pesan WhatsApp kita tidak dibaca atau tidak dibalas, itu bisa menjadi pengalaman yang mengecewakan, tetapi cobalah untuk tidak mengizinkan hal itu merusak kedamaian hati atau kepercayaan diri kita.

Mengemis perhatian atau validasi dari seseorang yang tidak menghargai kehadiran kita bukanlah sesuatu yang sehat atau layak dilakukan.

Ada kalanya, mengabaikan mereka yang mengabaikan kita adalah pilihan yang lebih bijaksana. Menghargai diri sendiri berarti memahami bahwa perhatian kita adalah sesuatu yang berharga, yang tidak seharusnya diberikan kepada mereka yang tidak menghargai keberadaan kita.

Jika seseorang tidak mau membuka pesan kita atau menanggapi, mereka sedang mengirimkan sinyal yang kuat, dan mungkin lebih baik jika kita menerima kenyataan itu daripada terus berharap dan terluka.

Kamu tidak perlu membuang energi atau merendahkan dirimu dengan meminta perhatian. Di dunia ini, akan selalu ada orang yang benar-benar peduli dan ingin hadir dalam hidupmu tanpa harus diminta.

Fokuslah pada hubungan yang memberikan kebahagiaan dan kenyamanan, dan belajar untuk membiarkan mereka yang tidak menghargaimu pergi. Terkadang, melepaskan adalah langkah terbaik yang bisa kita ambil untuk melindungi diri sendiri.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun