Bagaimana jika dia marah atau kecewa karena sesuatu yang aku lakukan tanpa sadar? Aku berusaha mengingat kembali setiap kata terakhir yang kami tukar, setiap percakapan yang mungkin meninggalkan kesan buruk.
Namun, semuanya terasa biasa, tak ada percikan konflik yang jelas. Hanya kebisuan ini yang tumbuh menjadi celah lebar, seperti tembok yang tak terjangkau.
Atau mungkin, lebih mengerikan lagi, dia benar-benar tidak peduli. Mungkin aku hanyalah bayangan yang tak punya tempat dalam harinya. Bayangan yang menanti, tapi tak pernah cukup berarti.
3. Sudut Pandang Seorang Sahabat
Melihat teman terbaikku, seseorang yang begitu hidup dan bersemangat, kini tenggelam dalam kesedihan hanya karena pesan tak terjawab, membuatku kesal.
Kupikir, "Mengapa kamu harus menyiksa diri seperti ini?" Dunia ini luas, orang-orang sibuk, dan tak semua hal bisa dipersonalisasi seburuk itu.
"Hei, ayolah," aku mencoba menghiburnya, "Bisa saja dia benar-benar sibuk. Dunia ini tidak berputar hanya untuk kita."
Tapi di dalam hati, aku tahu aku juga mulai mempertanyakan mengapa seseorang bisa begitu cuek. Apakah itu hanya sebuah kebetulan, atau memang ada alasan tersembunyi di balik keengganannya?
Aku ingat pernah berada di posisi itu. Posisi di mana pesan-pesan yang dikirim tak pernah dibalas, di mana penantian menjadi rutinitas yang menyiksa. Merasa diabaikan oleh seseorang yang penting membuat kita mempertanyakan diri sendiri.
Kadang, kita harus menyadari bahwa tidak membalas bisa berarti berbagai hal---tidak semuanya buruk, meski tak semuanya melegakan.
Sebagai sahabat, aku merasa tugasku untuk mengalihkan perhatiannya, membawanya kembali ke realita di mana ia tahu bahwa dia tetap berharga, bahkan jika seseorang yang diharapkannya tidak bisa memberikan respons yang diinginkan. Tapi kata-kata tak selalu cukup; hati punya jalannya sendiri dalam menafsirkan diam.