"Pak Udin, kamu ini serius? Kopi ini... pahit sekali! Kamu lupa cara bikin kopi enak atau apa? Sejak kapan kamu jadi barista amatiran begini? Ini kopi mau bunuh diri atau bagaimana?"
Pak Udin mencoba tersenyum kikuk sambil mengusap keringat di dahinya, "Eh, mungkin saya kebanyakan bubuk kopinya, Bu..."
"Kebanyakan? Kebanyakan? Luar biasa! Jadi kamu pikir aku suka minum kopi rasa cianida begini? Duh, Pak Udin, kamu ini sibuk apa sih? Bikin kopi aja nggak bisa benar! Kalau aku yang bikin kopi di sini, pastilah antrian pelanggan dari subuh sampai maghrib!" ujarnya sambil tertawa kecil. Tapi bukan tawa yang menyenangkan. Itu adalah tawa yang penuh dengan keangkuhan.
Pelanggan lain yang duduk di warung hanya bisa saling melirik, mencoba menahan tawa atau desahan panjang. Mereka sudah terbiasa dengan kelakuan Bu Tutik.
Sebagian dari mereka bahkan bertaruh kapan Pak Udin akan kehabisan kesabaran dan gelas kopi panas melayang ke wajah Bu Tutik, meskipun semua tahu itu tak akan pernah terjadi.
Hari berikutnya, Bu Tutik baru saja pulang dari pasar dengan tangan penuh tas belanja ketika dia bertemu dengan tetangganya, Bu Tati. Bu Tati adalah seorang wanita yang tenang, jauh berbeda dari Bu Tutik.
Saat itu, Bu Tati sedang sibuk menyiram tanaman di depan rumahnya, mencoba merawat beberapa tanaman yang memang sedikit layu karena cuaca yang panas.
"Pagi, Bu Tutik," sapa Bu Tati dengan ramah, masih dengan selang di tangannya.
Namun, mata Bu Tutik hanya terpaku pada tanaman yang sekarat itu, dan dia langsung mendengus tanpa basa-basi.
"Hah, tanaman macam apa itu, Bu Tati? Kering begitu, kayak hidup segan mati tak mau. Kalau aku yang urus, pasti daunnya sudah lebat sampai menutupi pagar. Kamu ini di rumah terus, ngapain aja seharian? Mungkin duduk-duduk dan nonton sinetron kali, ya? Atau ngerumpi bersama ibu-ibu lainnya?"
Senyum Bu Tati mendadak berubah menjadi senyum kecut. "Ya, saya coba-coba merawat tanaman, Bu Tutik. Tapi ya, mungkin belum terlalu ahli..."