Ia tidak berharap karyanya akan terkenal, tapi menulis membuatnya merasa hidup.
Selesai dengan semua urusan di luar rumah, Klitsco kembali ke dapur untuk memasak kepala ayam yang dibelinya. Dia mencampur daging ayam itu dengan nasi kemarin untuk diberikan kepada kucing-kucing mereka.
"Sudah selesai semua, Dek? Apa lagi yang bisa kubantu?" tanya Klitsco saat ia menghampiri istrinya yang sedang duduk di ruang tamu, sibuk menjahit kain perca.
"Sudahlah, mungkin tak ada lagi. Aku juga sibuk dari pagi. Kamu lakukan pekerjaanmu saja dan tahan laparmu dulu. Nanti kita makan bareng," jawab istrinya tanpa mengalihkan pandangan dari pekerjaannya.
Klitsco hanya mengangguk. Ia sudah terbiasa dengan cara bicara istrinya yang sering terdengar ketus namun penuh perhatian.
Dalam hatinya, ia tahu bahwa mereka adalah pasangan yang tidak sempurna, tapi saling melengkapi. Klitsco menyadari bahwa istrinya bukanlah lawan bertengkar, melainkan kawan hidup yang harus ia pahami dan cintai apa adanya.
Dia pun duduk di depan komputer, bersiap melanjutkan novelnya yang tertunda. Menulis memang menjadi pelariannya dari dunia nyata, terutama ketika ia membutuhkan ketenangan dari percakapan panjang yang sering kali berujung pada perdebatan dengan istrinya.
Tapi bagaimanapun, ia selalu merasa bersyukur memiliki seseorang yang dapat ia ajak berbagi hidup.
Kebersamaan mereka memang jauh dari sempurna. Istrinya kerap kali mengomel, memberi instruksi ini itu, bahkan terkadang membicarakan orang lain di belakang.
Sementara Klitsco sendiri bukanlah tipe suami yang suka membantah atau berargumen panjang. Ia lebih memilih mengalah, karena baginya, kebahagiaan rumah tangga terletak pada saling menghormati dan memahami.
Setiap pagi, Klitsco bangun lebih awal, sering kali jam 3 atau 4 subuh, menyiapkan sarapan untuk istrinya. Istrinya memang tak pernah bisa bangun pagi, dan Klitsco sudah terbiasa dengan itu.