Nabi Ayub, tokoh dalam Kitab Ayub di Perjanjian Lama, adalah salah satu figur paling misterius dan kompleks dalam tradisi Yahudi-Kristiani. Kisah Ayub menggabungkan elemen dramatis dan filsafat teologis yang mendalam, menyajikan pertanyaan fundamental tentang penderitaan, keadilan ilahi, dan ketabahan manusia dalam menghadapi cobaan.
Berbeda dengan kisah-kisah lainnya, kitab ini tidak memberikan jawaban sederhana. Dalam versi Alkitab Katolik, narasi tentang Ayub menjadi landasan bagi refleksi mendalam mengenai hubungan manusia dengan Tuhan, terutama ketika menghadapi ketidakadilan dan penderitaan yang tidak dapat dijelaskan.
Latar Belakang
Kisah Ayub dimulai dengan gambaran kehidupan yang sempurna. Ayub adalah seorang pria kaya dari tanah Uz, seorang yang "saleh dan jujur; ia takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan" (Ayub 1:1).
Ia diberkati dengan kekayaan yang melimpah---ternak dalam jumlah besar, lahan pertanian luas, dan pelayan yang banyak. Ayub juga dikaruniai sepuluh anak, yang hidup dalam kemewahan dan keharmonisan.
Kekayaan dan kehormatan yang dimilikinya adalah simbol bahwa Tuhan merestui hidupnya.
Namun, di balik permukaan kesejahteraan ini, sebuah dialog kosmis terjadi di alam gaib. Iblis, yang dalam Alkitab dikenal sebagai penguji iman manusia, datang menghadap Tuhan.
Iblis menantang Tuhan dengan mengatakan bahwa kesalehan Ayub hanyalah respons terhadap berkat-berkat materi yang ia terima. Iblis menyatakan bahwa jika semua harta benda dan kebahagiaan Ayub diambil darinya, ia akan "mengutuki Engkau di hadapan-Mu" (Ayub 1:11).
Ujian Pertama: Kehilangan Segala Sesuatu
Tuhan, yang mengetahui kekuatan iman Ayub, menerima tantangan itu dengan satu batasan---nyawa Ayub harus tetap utuh. Iblis kemudian mulai menjalankan rencananya. Dalam rentang waktu yang sangat singkat, serangkaian bencana menimpa Ayub.
Pertama, ternaknya yang menjadi sumber utama kekayaannya diambil oleh para penyerbu. Kemudian, badai menghancurkan rumah anak-anaknya saat mereka sedang berkumpul bersama, menyebabkan kematian seluruh anaknya.
Duka mendalam menyelimuti Ayub. Dengan tubuh yang gemetar dan hati yang hancur, ia merobek pakaiannya dan mencukur kepalanya sebagai tanda berkabung. Namun, dalam keputusasaan ini, Ayub tetap teguh dalam imannya.
Alih-alih mengutuk Tuhan, ia bersujud dan berkata, "Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil; terpujilah nama Tuhan!" (Ayub 1:21). Ini adalah ungkapan paling kuat dari ketabahan iman, bahkan ketika semua yang berharga di dunia telah hilang.
Ujian Kedua: Penderitaan Fisik
Namun, ujian Ayub belum berakhir. Dalam bab kedua, Iblis kembali menghadap Tuhan, kali ini berargumen bahwa manusia akan rela kehilangan segala harta benda, tetapi tidak akan bertahan ketika tubuh mereka sendiri yang menderita. Iblis meyakinkan Tuhan untuk mengizinkannya menginfeksi tubuh Ayub dengan penyakit kulit yang parah, selama nyawanya tetap terjaga.
Ayub dihantam oleh borok dari kepala hingga kakinya. Ia menderita secara fisik dalam derajat yang hampir tak tertahankan. Rasa sakitnya begitu hebat sehingga ia harus duduk di atas tumpukan abu dan menggunakan pecahan tembikar untuk menggaruk luka-lukanya.
Penderitaan fisik ini menambah kedalaman tragedi hidupnya, membawa Ayub ke titik di mana bahkan istrinya kehilangan harapan.
"Kutukilah Tuhan dan matilah!" katanya dalam keputusasaan (Ayub 2:9). Namun, dengan tegar, Ayub menjawab, "Apakah kita hanya mau menerima yang baik dari Tuhan, tetapi tidak mau menerima yang buruk?" (Ayub 2:10).
Dialog dengan Sahabat-sahabatnya
Setelah kehilangan segalanya dan menderita secara fisik, Ayub didatangi oleh tiga sahabatnya---Elifas, Bildad, dan Zofar---yang datang untuk "menghibur" dan menawarkan penjelasan atas penderitaannya.
Mereka, seperti halnya banyak orang di masa itu, percaya bahwa penderitaan adalah akibat langsung dari dosa. Menurut mereka, Ayub pasti telah melakukan sesuatu yang salah sehingga dia dihukum dengan cara yang begitu keras oleh Tuhan.
Mereka menasihati Ayub untuk mengakui kesalahannya dan bertobat, dengan harapan bahwa Tuhan akan mengakhiri penderitaannya.
Namun, Ayub bersikeras bahwa ia tidak bersalah. Ia tidak dapat memahami mengapa Tuhan menghukumnya begitu berat, meskipun ia hidup dengan jujur dan berbakti.
Ayub mulai mengajukan pertanyaan yang mengguncang fondasi iman teologis saat itu. Mengapa orang yang benar harus menderita sementara orang jahat tampaknya hidup dalam kedamaian?
Di tengah penderitaannya, Ayub merintih, mengeluh, dan bahkan menantang Tuhan secara langsung. "Mengapa Engkau menyembunyikan wajah-Mu dan menganggap aku sebagai musuh-Mu?" (Ayub 13:24), ia bertanya dalam penderitaan yang begitu mendalam.
Dialog antara Ayub dan sahabat-sahabatnya berlangsung selama banyak bab, dan mereka menawarkan berbagai argumen teologis untuk mencoba menjelaskan penderitaan Ayub.
Elifas, Bildad, dan Zofar secara bergantian berbicara tentang keadilan Tuhan dan pentingnya pertobatan, tetapi Ayub terus menyangkal bahwa penderitaannya adalah akibat dosa pribadi. Ayub menuntut agar Tuhan menjawabnya secara langsung.
Jawaban Tuhan dari Pusaran Angin
Puncak dari kisah ini terjadi ketika Tuhan akhirnya berbicara kepada Ayub, tetapi bukan dengan jawaban yang Ayub harapkan. Tuhan muncul dalam pusaran angin dan mengajukan serangkaian pertanyaan yang menyoroti betapa kecilnya pemahaman manusia tentang rencana ilahi dan alam semesta.
"Di manakah engkau ketika Aku meletakkan dasar bumi?" (Ayub 38:4), Tuhan bertanya. Pertanyaan ini bukan dimaksudkan untuk merendahkan Ayub, melainkan untuk menunjukkan bahwa ciptaan Tuhan adalah sesuatu yang sangat kompleks dan misterius sehingga manusia tidak dapat memahaminya sepenuhnya.
Tuhan kemudian melanjutkan dengan menggambarkan kekuatan alam semesta, binatang-binatang liar, dan keajaiban alam yang semua berada di bawah kendali-Nya. Tuhan tidak memberikan penjelasan langsung atas penderitaan Ayub, tetapi sebaliknya, Dia menunjukkan bahwa kebijaksanaan ilahi melampaui pemahaman manusia.
Ayub, yang pada awalnya menuntut jawaban, akhirnya merendahkan diri di hadapan kebesaran Tuhan. "Aku tahu bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal" (Ayub 42:2), kata Ayub dengan penyesalan.
Dengan pengakuan ini, Ayub menyadari bahwa meskipun ia tidak dapat memahami alasan di balik penderitaannya, ia harus mempercayai kebijaksanaan dan kasih Tuhan yang tidak terbatas.
Penerimaan Ayub atas ketidak-pahaman ini adalah puncak dari perjalanannya menuju iman yang lebih dalam dan penuh penyerahan.
Pemulihan Ayub
Setelah Ayub menunjukkan kerendahan hatinya di hadapan Tuhan, Tuhan memulihkan keadaan Ayub. Namun, pemulihan ini bukanlah hadiah semata, melainkan simbol dari kasih Tuhan yang melampaui penderitaan.
Tuhan menggandakan semua harta benda Ayub. Dia diberikan sepuluh anak lagi, yang dilukiskan sebagai yang paling cantik di seluruh negeri, dan ia hidup dalam damai hingga usia yang sangat lanjut.
Namun, pemulihan ini tidak menghilangkan penderitaan yang pernah dialaminya. Luka-luka emosional dan kenangan akan anak-anaknya yang telah tiada tetap ada, mengingatkan bahwa penderitaan bukan sesuatu yang bisa dijelaskan atau dihilangkan begitu saja.
Pemulihan Ayub menggambarkan bahwa Tuhan adalah sumber segala berkat, tetapi juga bahwa penderitaan manusia bukanlah hal yang selalu bisa dipahami dari sudut pandang manusia yang terbatas.
Jadikan Cerminan
Kisah Ayub adalah salah satu kisah paling mendalam dan menantang dalam Alkitab Katolik. Ini bukan sekadar cerita tentang seorang pria yang menderita dan dipulihkan, tetapi juga tentang perdebatan filosofis dan teologis yang abadi mengenai penderitaan, keadilan, dan iman.
Ayub adalah simbol ketabahan manusia di tengah cobaan yang tampaknya tidak adil. Dalam pencarian jawaban, ia menunjukkan bahwa terkadang jawaban yang kita cari tidak dapat dipahami dengan pemahaman manusia yang terbatas.
Namun, yang paling penting, kisah ini menyoroti bahwa iman kepada Tuhan bukanlah tentang menerima atau mengerti segala sesuatu, melainkan tentang mempercayai kebijaksanaan dan kasih Tuhan, bahkan ketika semua bukti tampak sebaliknya.
Ayub menjadi teladan bagi umat beriman tentang bagaimana menghadapi penderitaan dengan ketabahan, kesabaran, dan kepercayaan penuh kepada Tuhan.
Dewasa ini, banyak hidup manusia yang sangat menderita. Baik karena sakit, karena menderita, karena miskin, karena difitnah. Sayangnya, kebanyakan dari mereka tidak tahan dan memilih jalan pintas.
Sebagai jumat beriman kita bisa bercermin dengan kisah Ayub, dalam ketiga Agama Samawi. Yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam. Ketiga agama ini jumlah umatnya mendominasi di seluruh dunia.
Tahanlah hidup menderita, jangan mengakhiri hidup kita, karena Tuhan pasti mempunyai maksud tertentu dari penderitaan kita.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H