Ketika masyarakat terus-menerus terpapar pada berbagai modus penipuan, kepercayaan terhadap sesama dapat semakin terkikis. Hal ini dapat memicu ketidak percayaan antar individu, yang berujung pada perpecahan sosial.
Selain itu, penipuan yang dilakukan oleh individu dari kelompok agama atau etnis tertentu dapat menyebabkan stereotip negatif terhadap kelompok tersebut. Padahal, seperti yang kita ketahui, penipuan tidak terkait dengan latar belakang agama atau etnis.
Setiap individu dari berbagai kelompok masyarakat bisa saja melakukan kejahatan, tergantung pada moral dan etika pribadi masing-masing.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk tidak terjebak dalam generalisasi yang merugikan kelompok tertentu hanya karena ada segelintir individu yang melakukan kejahatan.
Dalam setiap agama dan budaya, penipuan adalah tindakan yang tercela dan tidak dapat dibenarkan. Kesadaran akan hal ini harus terus ditanamkan di masyarakat agar tidak terjadi kesalahpahaman yang merugikan.
Peran Pemerintah dan Lembaga Keuangan
Pemerintah memiliki tanggung jawab yang besar dalam melindungi warganya dari ancaman penipuan online. Salah satu langkah yang bisa diambil adalah dengan memperkuat regulasi terkait perlindungan data pribadi.
Banyak negara, termasuk Indonesia, sudah mulai menerapkan regulasi yang ketat terkait perlindungan data pribadi, namun implementasi dan penegakannya masih perlu ditingkatkan.
Lembaga keuangan juga harus berperan aktif dalam melindungi nasabahnya dari kejahatan siber. Bank dan penyedia layanan keuangan lainnya harus terus meningkatkan sistem keamanan mereka untuk mencegah kebocoran data atau akses ilegal oleh pihak yang tidak berwenang.
Selain itu, edukasi kepada nasabah tentang cara melindungi informasi pribadi mereka juga harus menjadi prioritas.
OJK sebagai lembaga pengawas jasa keuangan memiliki peran kunci dalam menangani kasus penipuan yang berkaitan dengan sektor keuangan, termasuk pinjaman online ilegal.