Mereka juga merasa lebih bebas untuk mengatur waktu kerja sesuai preferensi dan kemampuan pribadi.
Namun, di sisi lain, bekerja pada malam hari juga membawa tantangan yang tidak bisa diabaikan. Dari perspektif kesehatan, bekerja atau beraktivitas pada malam hari dapat berdampak buruk terhadap ritme sirkadian tubuh.
Ritme sirkadian adalah siklus alami tubuh yang mengatur pola tidur dan bangun sesuai dengan perubahan cahaya di sekitar kita. Secara alami, tubuh manusia didesain untuk beristirahat pada malam hari dan aktif pada siang hari.
Ketika seseorang mengubah pola ini, seperti tidur pada siang hari dan beraktivitas pada malam hari, hal ini dapat menyebabkan gangguan pada kesehatan, seperti kurang tidur, gangguan mood, penurunan produktivitas jangka panjang, dan bahkan meningkatkan risiko penyakit kronis seperti diabetes, obesitas, dan penyakit jantung.
Dampak negatif ini diperkuat dengan penelitian yang menunjukkan bahwa paparan cahaya buatan dari perangkat elektronik pada malam hari dapat mengganggu produksi hormon melatonin, yang berperan penting dalam mengatur siklus tidur.
Selain itu, dari perspektif sosial, bekerja di malam hari dapat mengurangi interaksi sosial dengan keluarga dan teman-teman yang mungkin masih menjalani pola hidup konvensional. Ini dapat mempengaruhi kualitas hubungan sosial dan kehidupan pribadi seseorang.
Fenomena atau Tren?
Pertanyaan mendasar yang muncul adalah, apakah fenomena perubahan waktu kerja ini bersifat sementara ataukah akan menjadi sebuah tren yang berkelanjutan di masa depan?
Untuk menjawabnya, kita perlu melihat bagaimana perubahan ini berkembang dalam konteks sosial, ekonomi, dan budaya.
Di satu sisi, fleksibilitas waktu kerja yang didorong oleh teknologi dan globalisasi memungkinkan fenomena ini untuk terus berkembang.Â
Banyak perusahaan yang mulai menerapkan sistem kerja fleksibel, yang mana karyawan bisa bekerja sesuai dengan jam yang mereka anggap paling produktif, asalkan target dan tanggung jawab mereka terpenuhi.