Pada suatu sore yang cerah, saya diajak oleh seorang teman untuk menghadiri acara syukuran yang diadakan oleh kawan kami yang baru saja terpilih kembali menjadi anggota dewan.
Acaranya cukup jauh tempatnya dari tempat kami berdomisili, sehingga untuk pergi ke sana saya terpaksa menebeng kawan lain yang punya mobil. Apa lagi acaranya sore hari dan biasanya acara begitu sampai larut malam.
Acara ini diselenggarakan dengan meriah di kediamannya yang megah. Rumah besar miliknya berdiri tegak di sebuah area luas yang dikelilingi pagar tinggi, seolah-olah menegaskan kekuasaan dan keberhasilan yang telah diraihnya.
Teman kami ini bukan hanya seorang politisi, tetapi juga pengusaha sukses di bidang perkebunan sawit, sehingga tidak heran jika pesta yang diadakannya sangat mewah dan melibatkan banyak orang.
Acara syukuran tersebut dimulai sekitar pukul tiga sore, saat mentari mulai condong ke arah barat, namun suasana pesta baru benar-benar hidup saat malam menjelang.
Seperti kebanyakan acara syukuran lainnya, pesta ini juga diawali dengan sesi makan bersama. Di bawah tenda besar yang diisi dengan meja dan kursi berderet rapi, para tamu undangan mulai antri untuk menikmati hidangan yang telah disediakan.
Hidangan tersebut sangat bervariasi, mulai dari bakso sapi, nasi dengan ayam goreng, hingga rendang sapi yang menggugah selera.
Sebagai seseorang yang sudah cukup berumur, saya memutuskan untuk tidak mengambil makanan yang terlalu berat seperti rendang sapi. Saya memilih sepiring nasi lengkap dengan ayam goreng dan sayuran segar.
Sementara tamu-tamu lain terlihat begitu lahap menikmati setiap hidangan yang tersedia, saya mencoba untuk menjaga porsi makan saya, karena kesehatan di usia senja perlu dijaga dengan baik.
Setelah makan bersama, acara dilanjutkan dengan sambutan dari tuan rumah. Kawan kami menyampaikan rasa syukur atas terpilihnya kembali dia sebagai anggota dewan, sambil tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada para tamu yang hadir.
Dalam sambutannya, ia juga menyelipkan kata-kata pujian terhadap pemerintah dan kolega-koleganya yang telah bekerja sama selama ini, serta janji untuk terus memperjuangkan kepentingan rakyat di parlemen.
Sambutan tersebut disambut tepuk tangan meriah oleh para tamu undangan, yang sebagian besar merupakan kerabat, kolega, dan rekan-rekan politik.
Ketika malam semakin larut, suasana semakin meriah. Musik mulai diputar dengan volume yang menggelegar. Sebuah band lokal tampil dengan sangat energik, membawakan lagu-lagu populer yang memancing para tamu untuk berjoget.
Tak hanya itu, ada juga penampilan artis-artis daerah yang memukau dengan suara indah mereka. Para tamu terlihat sangat menikmati suasana tersebut, bahkan beberapa di antaranya mulai menari di depan panggung, mengikuti irama musik yang menggema di seluruh area.
Sambil duduk, kami disuguhi berbagai macam minuman dan buah-buahan segar. Di meja saya, terdapat minuman bir yang disediakan dalam jumlah yang tidak sedikit.
Meskipun saya jarang minum, namun malam itu saya tergoda untuk menyesap beberapa gelas bir dingin. Tentu saja, saya menjaga batas agar tidak berlebihan, hanya sekadar ikut merasakan suasana pesta.
Suasana pesta semakin riuh saat penonton mulai membludak. Undangan yang hadir begitu banyak, hingga area dalam pagar yang cukup luas itu tidak mampu menampung seluruh tamu.
Orang-orang meluber sampai ke jalan raya di depan rumah, memenuhi setiap sudut yang ada. Lebar jalan itu sekitar 12 meter, tetapi tetap saja sulit bagi kendaraan untuk melewatinya, karena lautan manusia yang terus memadati area tersebut.
Menyaksikan kemeriahan acara ini, pikiran saya mulai melayang jauh. Di tengah keramaian dan hingar-bingar pesta, saya sempat memperhatikan salah satu anak dari tuan rumah.
Anak sulungnya yang kira-kira masih duduk di bangku SMA, terlihat berdiri di dekat panggung dengan tubuh yang besar dan tinggi (hampir 2 meter). Namun, saya tidak bisa mengabaikan fakta bahwa anak tersebut tampak sangat gemuk dan kurang bugar.
Tubuhnya terlihat lemah dan lesu, mungkin akibat gaya hidup yang kurang aktif dan pola makan yang tidak sehat. Ia bahkan sudah memakai kacamata tebal, tanda bahwa kesehatannya, terutama kesehatan matanya, mungkin sudah mulai terganggu.
Di sisi lain, saya juga melihat bagaimana kekayaan kawan kami terlihat nyata dalam segala hal yang ada di pesta itu. Ratusan dus minuman, baik yang ringan maupun keras, disediakan untuk para tamu.
Hanya dari minuman saja, jumlahnya sudah sangat mencengangkan. Belum lagi biaya untuk sewa band yang mencapai lima puluhan juta rupiah per malam. Dengan artis dan penghibur lainnya, pesta ini pastilah menghabiskan biaya yang tidak sedikit.
Saya memperkirakan bahwa uang yang dikeluarkan oleh tuan rumah mungkin mencapai miliaran rupiah hanya untuk acara satu malam ini.
Yang membuat saya semakin tertegun adalah pemandangan orang-orang yang asyik berjoget dan memberikan saweran kepada para artis wanita. Saya melihat beberapa di antaranya dengan mudahnya memberikan uang hingga jutaan rupiah kepada para penampil.
Seorang artis bahkan mendapatkan saweran tidak kurang dari tiga juta rupiah dari satu orang saja. Semua itu terjadi di depan mata saya, sementara saya hanya bisa terdiam menyaksikannya.
Di tengah kemewahan pesta dan kegembiraan orang-orang, pikiran saya melayang jauh. Saya teringat kepada banyak orang di luar sana yang hidup dalam kondisi serba kekurangan.
Di saat tuan rumah dan para tamunya menghabiskan uang miliaran rupiah untuk satu malam pesta, ada orang-orang yang kesulitan hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari.
Mereka yang tidak tahu harus makan apa esok hari, atau mereka yang harus bekerja keras sepanjang hari hanya untuk mendapatkan sedikit uang yang bahkan tidak cukup untuk membeli makanan.
Ketimpangan sosial yang terjadi di negeri ini begitu nyata. Di satu sisi, ada orang-orang yang hidup bergelimang harta, menghabiskan uang dalam jumlah besar tanpa pikir panjang.
Di sisi lain, ada mereka yang berjuang mati-matian hanya untuk bertahan hidup. Saya bertanya-tanya, siapa yang salah dalam situasi ini? Apakah kesalahan terletak pada sistem yang memungkinkan ketimpangan seperti ini terus terjadi? Ataukah kita sebagai individu juga turut andil dalam membiarkan kesenjangan ini semakin melebar?
Realitas hidup di Indonesia, seperti yang saya saksikan malam itu, memperlihatkan bagaimana kekuasaan dan kekayaan sering kali berjalan seiring. Kawan kami ini telah berkali-kali terpilih menjadi anggota dewan, dan pada saat yang sama, kekayaannya sebagai pengusaha sawit terus bertambah.
Kekuasaan yang ia miliki memberikan akses lebih besar untuk memperluas bisnisnya, sementara kekayaannya membantu mempertahankan posisinya di dunia politik. Sebuah siklus yang tampaknya sulit diputus, dan semakin memperburuk ketimpangan di antara golongan masyarakat.
Malam itu, meskipun saya berada di tengah-tengah pesta yang penuh dengan tawa, musik, dan kemewahan, saya merasa hati saya terasa berat. Pikiran saya dipenuhi oleh bayangan mereka yang hidup dalam kemiskinan, yang nasibnya jauh berbeda dengan orang-orang yang ada di pesta ini.
Mungkin tidak ada yang salah secara langsung dalam acara ini. Kawan kami mengadakan pesta untuk merayakan pencapaiannya, dan itu adalah haknya. Namun, di balik semua itu, ada pertanyaan besar tentang keadilan sosial yang terus mengusik pikiran saya.
Ketika pesta mulai usai dan satu per satu tamu mulai meninggalkan tempat, saya berjalan perlahan menuju pintu keluar. Di sepanjang perjalanan pulang, saya terus merenungkan apa yang telah saya saksikan. Pesta mewah itu hanyalah satu contoh kecil dari kehidupan orang-orang yang berada di lapisan atas masyarakat.
Di luar sana, ada jutaan orang yang berjuang untuk hidup, dan kesenjangan ini tidak akan hilang begitu saja tanpa ada perubahan yang nyata. Namun, perubahan itu tidak bisa terjadi jika kita terus membiarkan sistem ini berjalan seperti sekarang.
Malam itu menjadi pengingat bagi saya bahwa meskipun kita hidup dalam dunia yang penuh dengan kemewahan dan kesenangan bagi sebagian orang, kita tidak boleh melupakan mereka yang kurang beruntung.
Keadilan sosial harus menjadi tujuan kita bersama, dan hal itu hanya bisa tercapai jika ada kesadaran kolektif untuk memperbaiki keadaan. Siapa yang salah dalam situasi ini? Mungkin kita semua, jika kita tidak berusaha untuk melakukan sesuatu.
***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI