Meskipun kebijakan Nadiem Makarim mendapat banyak kritik, terdapat elemen positif dari gagasan bahwa pendidikan seharusnya lebih berbasis kompetensi daripada sekadar angka atau peringkat.
Kompetensi yang dimaksud tidak hanya terbatas pada kemampuan akademis, tetapi juga mencakup kemampuan berpikir kritis, keterampilan sosial, dan nilai-nilai karakter yang kuat.
Kebijakan ini berusaha mengatasi permasalahan mendasar dalam sistem pendidikan Indonesia yang terlalu berfokus pada nilai ujian semata.
Alangkah baiknya, anak-anak sejak dini diajarkan ketrampilan seperti pendidikan di China. Di mana sewaktu sekolah dasar mereka sudah dilatih sopan santun, menghargai orang lain, hormat pada orang tua, bisa bekerja dasar untuk kebutuhan hidup seperti masak nasi, masak sayur, membersihkan rumah dan mencuci pakaian.
Pendekatan ini juga sejalan dengan tren global di mana sistem pendidikan berusaha menyiapkan siswa untuk menjadi individu yang tangguh dan kreatif dalam menghadapi tantangan dunia yang cepat berubah.
Pendidikan berbasis kompetensi ini mencoba menggeser paradigma bahwa pendidikan bukan hanya soal hasil akhir, tetapi tentang bagaimana proses belajar itu sendiri membentuk siswa menjadi individu yang berkualitas.
Keseimbangan Antara Fleksibilitas dan Standar Akademis
Meski demikian, tantangan besar bagi Nadiem Makarim dan reformasi pendidikan yang ia usung adalah menemukan keseimbangan antara fleksibilitas dalam belajar dan standar akademis yang ketat.
Kebijakan kenaikan kelas dan kelulusan otomatis mungkin diambil dengan niat baik untuk mengurangi tekanan pada siswa dan guru. Namun, di sisi lain, kebijakan ini dapat menurunkan kualitas pembelajaran jika tidak diimbangi dengan penilaian yang objektif terhadap kompetensi dasar siswa.
Dalam dunia pendidikan, evaluasi yang tepat sangat penting untuk memastikan bahwa siswa telah mencapai standar minimum sebelum mereka melanjutkan ke jenjang berikutnya.
Jika proses penilaian dilonggarkan tanpa disertai mekanisme penjaminan kualitas yang jelas, maka hasilnya adalah siswa-siswa yang tidak memiliki kemampuan dasar yang memadai, seperti yang tercermin dalam kasus siswa SMP yang tidak bisa membaca dan menulis.