Kebijakan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Nadiem Makarim, dalam beberapa tahun terakhir telah menjadi topik perdebatan luas di masyarakat.
Seiring dengan diperkenalkannya program-program baru yang dianggap revolusioner, banyak pihak yang menyambut positif perubahan ini. Namun, tidak sedikit juga yang mempertanyakan arah dan dampak kebijakan tersebut, terutama terkait dengan standar kenaikan kelas dan kelulusan siswa.
Salah satu isu yang mencuat adalah kekhawatiran bahwa kebijakan tidak adanya peringkat, serta kenaikan kelas dan kelulusan otomatis, dapat menurunkan kualitas pendidikan dan semangat kompetitif siswa.
Karena di dunia ini sudah terbukti, bahwa semangat kompetitif lah yang membuat seseorang itu bisa pintar, kaya dan berprestasi.
Kebijakan Merdeka Belajar
Nadiem Makarim memulai reformasi pendidikan Indonesia melalui program "Merdeka Belajar" yang menekankan pada pentingnya kemerdekaan dan fleksibilitas dalam proses belajar mengajar.
Salah satu elemen penting dari kebijakan ini adalah mengurangi beban administrasi dan formalitas pendidikan, termasuk penghapusan Ujian Nasional (UN) sebagai penentu kelulusan.
Sebagai gantinya, UN digantikan dengan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) dan Survei Karakter, yang dirancang untuk mengukur kemampuan literasi, numerasi, dan nilai-nilai karakter siswa.
Dengan menghapus Ujian Nasional, kebijakan ini bertujuan mengurangi tekanan akademis yang selama ini dianggap memberatkan siswa dan guru. Ujian Nasional dianggap terlalu berfokus pada kemampuan akademis semata, sementara keterampilan dasar yang seharusnya dikembangkan siswa dalam literasi, numerasi, dan pendidikan karakter seringkali terabaikan.
Dalam konteks ini, kebijakan Nadiem Makarim  berusaha meredefinisi apa yang dimaksud dengan keberhasilan pendidikan. Tetapi sebenarnya hal itu mengurangi semangat belajar siswa-siswi, karena mereka sudah tahu tidak akan ada ujian, sehingga mereka santai saja.