Mohon tunggu...
Yovinus
Yovinus Mohon Tunggu... Penulis - laki-laki

Hidup itu begitu indah, jadi jangan disia-siakan. Karena kehidupan adalah anugerah Tuhan yang paling sempurna bagi ciptaanNya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Naiknya Harga Gas LPG dan Dampaknya pada Masyarakat

2 Agustus 2024   06:32 Diperbarui: 2 Agustus 2024   06:40 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pontianak.tribunnews.com/2024/01/02/harga-gas-elpiji-per-1-januari-2024-di-seluruh-indonesia-resmi-turun-atau-naik-cek-disini

Sejak awal tahun ini, harga gas terus mengalami kenaikan yang signifikan. Hal ini membuat masyarakat, terutama dari kalangan bawah, semakin tertekan. Di tengah kesulitan ekonomi yang sudah mendera, kenaikan harga gas menjadi beban tambahan yang berat.

Banyak dari mereka yang mengeluh tentang sulitnya memenuhi kebutuhan sehari-hari karena harga-harga yang terus meroket. Sementara itu, pemerintah tampaknya tidak memberikan respons yang jelas terhadap situasi ini.

Media sosial pun seakan bungkam, tidak banyak berita atau diskusi yang mencuat mengenai masalah ini.

Di sebuah warung kopi di sudut kota, dua sahabat, Budi dan Anton, sedang berbincang mengenai kenaikan harga gas yang tak kunjung reda.

"Ton, kamu tahu nggak, harga gas naik lagi minggu ini? Aku baru saja beli dan harganya sudah dua kali lipat dari bulan lalu," keluh Budi.

"Ya ampun, Budi. Aku juga baru dengar dari istri kemarin. Katanya di pasar, gas sudah susah dicari. Kalau ada pun harganya sudah selangit," timpal Anton sambil menarik nafas kecewa.

"Iya, benar. Aku jadi bingung, pengeluaran bulanan kita makin bertambah. Gaji nggak naik-naik, tapi harga barang terus naik," ujar Budi lagi.

"Pemerintah kok diam saja, ya? Padahal masyarakat sudah kesusahan begini. Kalau terus dibiarkan, kita yang kecil-kecil ini bisa tambah menderita," ujar Budi setengah mengomel.

"Itu dia. Aku juga heran. Di media sosial sepi banget soal berita ini. Jangan-jangan memang ada yang sengaja menaikkan harga gas," kata Anton membenarkan.

"Maksudmu? Konspirasi gitu?" tukas Anton.

"Bisa jadi. Gas di pasaran tiba-tiba langka, dan ketika ada, harganya sudah naik tinggi. Mungkin ada yang mengambil keuntungan dari situasi ini," tukas Budi sambil menarik nafas pasrah.

"Kalau begitu, kita harus bagaimana, Bud? Masa kita diam saja?" ujar Anton lagi.

"Kita harus cari cara untuk berhemat dan mungkin mulai beralih ke alternatif lain. Tapi tetap saja, rasanya tidak adil kalau harus begini terus," sambung Anton.

Sementara itu, di tempat lain, Siti, seorang ibu rumah tangga, sedang berbincang dengan tetangganya, Ibu Rina, tentang kesulitan yang mereka alami akibat kenaikan harga gas. Mereka berdiri di depan rumah Siti sambil menggendong anak-anak mereka.

"Bu Rina, tadi pagi saya beli gas di warung, harganya naik lagi. Padahal, baru dua minggu lalu saya beli dengan harga yang lebih murah," ujar Bu Siti.

"Iya, Bu Siti. Saya juga merasakan hal yang sama. Baru kemarin saya beli, sudah mahal banget. Saya bingung, harus hemat-hemat sekarang," desis Bu Rina membenarkan.

"Iya, benar. Tapi bagaimana caranya? Kebutuhan kita kan banyak, apalagi dengan anak-anak. Kalau semua serba mahal, kita bisa makan apa?" omel Bu Siti jengkel.

Apa-apa serba mahal, belum lagi BPJS, pajak, kendaraan katanya hanya boleh berusia sepuluh tahun, setelah itu tidak bisa di pakai. Boro-boro beli baru, untuk mendapatkan kendaraan di atas sepuluh tahun saja sudah untung.

Seharusnya iuran BPJS itu ditanggung pihak pemerintah dan pihak perusahaan serta orang-orang kaya. Jangan di bebankan kepada orang miskin. Sudah beban hidupnya berat, di tambah lagi dengan kewajiban ini dan itu yang di luar kemampuannya.

Belum lagi katanya kendaraan harus asuransi lagi, dari mana dapat duitnya? Usia kerja dibatasi, sehingga suaminya yang sudah lebih 60 tahun tidak bisa kerja, sementara pemerintah saja pilih kasih memberikan bantuan.

"Entahlah, Bu. Saya juga pusing memikirkannya. Kenapa ya, pemerintah sepertinya tidak bertindak? Mereka diam seribu basa dan rasanya seperti dibiarkan begitu saja," keluh Bu Rina.

"Mungkin mereka memang tidak peduli, Bu. Karena memang berduit dan tidak merasakan masyarakat yang kekurangan atau tidak ada duit. Atau mungkin ada yang diuntungkan dengan kenaikan harga ini?" kata Bu Siti.

"Kalau begitu, kita harus bagaimana, Bu Siti? Masa kita terus-terusan tertekan begini?" kata Rina.

"Kita mungkin bisa coba cari informasi lebih lanjut, ajak yang lain untuk bersuara. Biar pemerintah tahu kalau kita susah," kata bu Siti geram.

"Ide bagus, Bu Siti. Kita harus kompak. Kalau kita diam saja, nasib kita tidak akan berubah," seru Bu Rina setuju dan penuh semangat.

Sementara itu di sebuah kantor pemerintah setempat, para pejabat tampak sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Di sebuah ruangan, dua staf muda sedang berbicara tentang kenaikan harga gas dan respons pemerintah yang minim.

"Kamu tahu nggak, ada banyak keluhan dari masyarakat soal harga gas yang naik. Tapi, sepertinya pemerintah belum bertindak apa-apa," ujar Staf 1.

"Iya, saya dengar. Banyak yang protes, tapi di sini belum ada langkah konkret yang diambil," tukas Staf 2 membenarkan.

"Apa mungkin mereka memang sengaja membiarkan? Ada rumor kalau ini strategi untuk mengendalikan pasar," bisik Staf 1 perlahan, sepertinya takut dinding mendengar.

"Wah, kalau begitu kasihan masyarakat. Mereka yang paling terdampak. Kita harusnya membantu mereka, bukan malah membiarkan," bisik Staf 2 juga perlahan.

"Benar. Kita harus cari cara untuk menyampaikan ini ke atasan. Mungkin ada kebijakan yang bisa diubah," desah Staf 1.

"Saya setuju. Kalau kita bisa membuat laporan yang solid, mungkin mereka akan mendengarkan," kata Staf 2.

Kembali ke lingkungan masyarakat, di malam hari, warga berkumpul di balai desa untuk membahas masalah kenaikan harga gas. Mereka ingin mencari solusi bersama agar dapat meringankan beban yang semakin berat.

"Saudara-saudara, kita semua tahu masalah yang sedang kita hadapi. Harga gas naik dan semakin sulit untuk didapatkan. Apa ada yang punya ide untuk mengatasi ini?" kata ketua RW bersemangat.

"Ketua, mungkin kita bisa mengajukan surat ke pemerintah daerah. Kita harus suarakan keluhan kita," usul Warga 1.

"Setuju. Tapi jangan hanya surat, kita juga harus buat petisi online. Biar suara kita lebih didengar," suara dari Warga 2 mendukung.

"Kita juga bisa adakan aksi damai, biar perhatian media terfokus ke kita. Selama ini, media sosial sepi soal ini, kita harus bikin ramai," suara Warga 3 ikut mendukung.

"Ide bagus. Kita harus bersatu dan kompak. Kalau kita bergerak bersama, suara kita akan lebih kuat," ujar Ketua RW.

"Benar, Ketua. Kita harus lakukan sesuatu. Kalau kita diam saja, harga gas akan terus naik dan kita semakin menderita," ujar Warga 1 yang tadi pertama memberikan usulan.

"Baiklah, mari kita rencanakan langkah-langkah ini dengan baik. Semoga usaha kita bisa membawa perubahan," kata ketua RW menyimpulkan.

Malam itu, warga desa merasa lebih bersemangat. Mereka yakin, dengan bersatu dan bersuara, mereka bisa membuat pemerintah mendengarkan dan mengambil tindakan.

Kenaikan harga gas bukanlah akhir dari segalanya, tapi awal dari perjuangan mereka untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Meskipun tantangan berat di depan mata, mereka siap untuk melawannya demi masa depan yang lebih baik.

Dengan demikian, perjuangan masyarakat kelas bawah yang tertekan oleh kenaikan harga gas tidak hanya sekedar cerita penderitaan.

Ini adalah kisah tentang persatuan, keberanian, dan semangat untuk terus berjuang demi keadilan dan kesejahteraan bersama.

Pemerintah mungkin belum saja merespons atau terlambat lambat dalam merespons, media sosial mungkin masih sepi, tapi suara rakyat tidak akan pernah padam. Dengan solidaritas dan aksi nyata, mereka yakin bisa membawa perubahan yang mereka butuhkan.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun