"Bisa jadi. Gas di pasaran tiba-tiba langka, dan ketika ada, harganya sudah naik tinggi. Mungkin ada yang mengambil keuntungan dari situasi ini,"Â tukas Budi sambil menarik nafas pasrah.
"Kalau begitu, kita harus bagaimana, Bud? Masa kita diam saja?"Â ujar Anton lagi.
"Kita harus cari cara untuk berhemat dan mungkin mulai beralih ke alternatif lain. Tapi tetap saja, rasanya tidak adil kalau harus begini terus,"Â sambung Anton.
Sementara itu, di tempat lain, Siti, seorang ibu rumah tangga, sedang berbincang dengan tetangganya, Ibu Rina, tentang kesulitan yang mereka alami akibat kenaikan harga gas. Mereka berdiri di depan rumah Siti sambil menggendong anak-anak mereka.
"Bu Rina, tadi pagi saya beli gas di warung, harganya naik lagi. Padahal, baru dua minggu lalu saya beli dengan harga yang lebih murah,"Â ujar Bu Siti.
"Iya, Bu Siti. Saya juga merasakan hal yang sama. Baru kemarin saya beli, sudah mahal banget. Saya bingung, harus hemat-hemat sekarang,"Â desis Bu Rina membenarkan.
"Iya, benar. Tapi bagaimana caranya? Kebutuhan kita kan banyak, apalagi dengan anak-anak. Kalau semua serba mahal, kita bisa makan apa?"Â omel Bu Siti jengkel.
Apa-apa serba mahal, belum lagi BPJS, pajak, kendaraan katanya hanya boleh berusia sepuluh tahun, setelah itu tidak bisa di pakai. Boro-boro beli baru, untuk mendapatkan kendaraan di atas sepuluh tahun saja sudah untung.
Seharusnya iuran BPJS itu ditanggung pihak pemerintah dan pihak perusahaan serta orang-orang kaya. Jangan di bebankan kepada orang miskin. Sudah beban hidupnya berat, di tambah lagi dengan kewajiban ini dan itu yang di luar kemampuannya.
Belum lagi katanya kendaraan harus asuransi lagi, dari mana dapat duitnya? Usia kerja dibatasi, sehingga suaminya yang sudah lebih 60 tahun tidak bisa kerja, sementara pemerintah saja pilih kasih memberikan bantuan.
"Entahlah, Bu. Saya juga pusing memikirkannya. Kenapa ya, pemerintah sepertinya tidak bertindak? Mereka diam seribu basa dan rasanya seperti dibiarkan begitu saja,"Â keluh Bu Rina.