Indonesia sangat luas, ribuan pulau dan ribuan tradisi. Salah satu tradisi di jaman dulu dan diawal-awal Indonesia merdeka adalah tradisi mengayau atau mencari kepala di Kalimantan.
Tidak ada yang tahu pasti bagaimana asal mula tradisi ini pada ratusan sub suku Dayak yang hidup di pulau besar Kalimantan, karena masyarakat Dayak tidak punya budaya tulis menulis. Sehingga sekarang ini masing-masing orang malahan mengklaim jika sukunyalah yang memulai adanya budaya itu.
Mereka hanya mengandalkan tradisi lisan saja dan bahkan sekarang sudah banyak yang dimodifikasi tentang asal-usul bahkan kerajaan mereka yang pernah berdiri. Hal itu tidak perlu dikhawatirkan, karena bisa di crosscheck dengan tes DNA dan liputan sejarah dan peristiwa yang bersesuaian. Tapi oke, lah. Masalah tersebut tidak usah kita perpanjang.
Tradisi Mengayau itu adalah tradisi mencari kepala untuk upacara adat dan kejantanan, karena dalam kesenian Parung akan di sebutkan beberapa orang yang telah berhasil dia bunuh.
Namun kita berbicara saja dari salah sub suku Dayak, yaitu dari sisi suku Uut Danum, yaitu kebiasaan ini dalam bahasa Uut Danum di sebut “Nganyou,” yang tentu saja artinya mencari kepala anggota suku lain.
Untuk membedakan anggota suku itu berbeda yang pertama tentu saja dari bahasanya. Bahasa Uut Danum sungguh berbeda dari bahasa sub suku Dayak lain, baik cara mengucapkannya dan artinya. Juga dalam satu kata itu mempunyai makna, yang lebih luar biasa lagi dalam suatu kata itu mempunyai tingkatan dari halus sampai kasar.
Namun perlu pembaca ketahui, bahkan penulisan kata Uut Danum sendiri sampai sekarang masih menjadi polemik dan saling silang pendapat, banyak yang menulisnya seperti warisan penjajah dengan kata Ot Danum yang tidak tahu apa maknanya.
Hal ini dikarenakan mereka tidak berpedoman pada orang yang betul-betul paham karena itu berdasarkan sekolahnya, tetapi hanya karena dia tokoh adat dan kaya raya serta punya jabatan publik.
Namun sesungguhnya itu tidak mempunyai makna, karena seharusnya kata “Uut Danum” itu karena terjadi pemanjangan vokal di sana yang sudah menjadi ciri khas suku itu. Di mana Uut Danum berarti suku atau bisa juga hulu air atau juga sumber air, yang secara kebetulan juga suku ini rata-rata hidup di daerah hulu atau dekat mata air.
Karena suku ini kebanyakan hidup di daerah Kalimantan Barat terutama di daerah Serawai dan Ambalau dan juga bertebaran di Kalimantan Tengah serta beberapa kelompok di Kalimantan Timur.
Jadi menurut hemat penulis, maka Uut Danum adalah sebutan yang lebih masuk akal, karena itu dari segi makna kata secara leksikal dan budaya mempunyai maksud dan arti. Memang bisa menulis dengan kata Uud Danum, tapi nantinya akan bersinggungan dengan makna Undang-Undang Dasar jika di tulis dalam huruf besar, maka penulis lebih memilih menulisnya dengan Uut Danum.
Suku ini merupakan kelompok suku, yang di dalamnya terdiri dari suku Dohoi, Cohie, Melahui, Limbai, Pangin, Sebaung, Siang, Murung dan lain-lainya sampai berjumlah sekitar lebih dua puluhan suku.
Meskipun ada beberapa suku yang tidak mau ikut bergabung dan menolak klaim itu, meskipun secara budaya dan bahasa memang mereka memiliki kemiripan sekira delapan puluh persen. Itu adalah hak mereka untuk menolak, meskipun secara kesamaan orang Uut Danum menganggap mereka satu rumpun.
Menurut para ahli sejarah suku ini yang tertua di Kalimantan, yaitu sekitar 2500 tahun sebelum Masehi sudah berada di Kalimantan atau sampai sekarang sekitar hampir lima ribu tahun.
Mereka juga merupakan kelompok yang terbesar di Kalimantan, yaitu sekitar lebih dua juta jiwa. Meskipun jika dibanding jumlah orang Jawa dan Sunda tentu saja mereka akan tertawa. Karena jumlah orang Jawa itu melebihi 150 juta jiwa dan masyarakat Sunda melebihi 35 juta jiwa.
Sedangkan menurut legenda yang mereka miliki, suku ini sudah berada di Kalimantan sudah miliaran tahun lalu, karena dalam suku ini ada cerita tentang asal mula terjadinya alam semesta seperti bintang, matahari, bumi dan planet lainnya (akan posting di kesempatan lain).
Nah kita kembali berbicara tentang budaya mengayau tadi. Pada suku Dohoi Uut Danum, maka budaya atau tradisi mengayau itu ada kaitannya dengan upacara kematian.
Karena mereka percaya akan adanya kehidupan setelah kematian, maka mereka perlu mencari orang untuk dijadikan “Jihpon Desak” (budak belian) di alam kematian sana. Sehingga mereka perlu mencari kepala orang-orang lain minimal satu orang, yang akan di cari selama bertahun-tahun bahkan batasnya sampai tujuh tahun.
Selama ini mayat tidak boleh dikuburkan, maka di sediakan tempat di belakang rumah dan mayatnya harus di awetkan agar tidak membusuk dan ini bisa berlangsung tujuh tahun.
Kalau mereka berhasil dalam upaya mengayau anggota suku lain ini, maka mereka akan di sambut dengan peristiwa besar yang di sebut “Hobolluhan Kanyou”, yang artinya iring-iringan penyambutan orang pulang mengayau. Mereka yang berhasil itu akan dibuatkan semacam kursi dari kayu dan akan di pikul oleh orang kampung secara beramai-ramai.
Singkat cerita, dalam upacara adat “Dolong Hopong” (iring-iringan) sebelum sampai ke tempat Hopong sampai memotong Hopong pun mereka akan di minta untuk melakukan kesenian Parung atau budaya berkata-kata dalam nyanyian lagu sastra, di mana di sinilah dia akan mengaku berapa orang yang telah di bunuhnya dengan menggunakan bahasa sastra Parung atau juga dalam bahasa Kandan yang menjadi tradisi dalam suku Uut Danum.
Perlu pembaca ketahui Hopong ini adalah khas budaya Uut Danum yang diperuntukkan untuk menyambut para Temuai, baik yang membawa kepala atau hanya sekedar mengantarkan pengantin. Dewasa ini sudah bertambah untuk menyambut para pejabat yang datang ke daerah setempat.
Hopong juga terdiri dari beberapa macam tingkatan dan jenis kayu penghalangnya serta aksesorinya, yaitu dari yang paling rendah seperti tikar biasa saja sampai yang tertinggi dengan menggunakan Kacang Uwoi (tikar Rotan) dan Bollangak Jaot (Tempayan Mahal) serta Takui Darok (Caping yang dirajut khusus) di sisinya.
Perlu juga diketahui bahwa bahasa Parung dan Kandan ini merupakan bahasa tingkat tinggi, yang dalam budidaya Uut Danum terdiri dari tiga bahasa, yaitu bahasa Parung, Bahasa Tahtum dan bahasa Kandan. Ketiga bahasa ini digunakan dalam seni sastra selain dari bahasa Uut Danum sehari-hari karena tingkatannya di anggap lebih tinggi.
Jika dalam tujuh tahun itu mereka tidak mendapatkan kepala, maka mereka akan menggunakan Jihpon Desak (Budak Belian) yang mereka miliki sebagai penggantinya. Tapi uniknya budak belian itu tidak akan melawan jika di bunuh oleh tuannya untuk upacara adat.
Perlu juga penulis sampaikan, dalam suku Dohoi Uut Danum ini adanya budaya perbudakan, yang sudah dihapuskan dalam pertemuan Damai di Tumbang Anoi Kalimantan Tengah tahun 1894 lalu, atau sekitar 51 tahun sebelum Indonesia merdeka.
Budaya Perbudakan ini juga dihapus bersamaan dengan budaya Mengayau, sehingga secara resmi pada tahun 1894 itu tidak ada lagi tradisi mengayau dan perbudakan di Kalimantan.
Jadi budak yang mereka miliki akan mereka jadikan korban, yang mana dimasukkan ke dalam kuburannya, sehingga diharapkan mereka akan menjadi pembantunya di alam orang mati sana.
Maka tidak heran dalam budaya kematian tingkatan yang tertinggi yang di sebut “Dallok” itu anda tanda “Torasch” dan “Sokallan” yang akan dirikan di depan rumah. Dallok itu hanya bagi yang mampu saja secara ekonomi karena ada yang melakukannya selama tujuh tahun dan setiap harinya harus memotong babi dan ayam dan menanggung orang yang datang untuk makan dan minum.
Sehingga upacara ini sesungguhnya akan menelan biaya ratusan miliaran secara keseluruhan, jadi wajar saja jika masyarakat akan menuntut perusahaan jika tempat yang keramat ini sampai di rusak.
Torasch terdiri dari kayu ulin, sebagai tanda bawah keluarga yang di depan rumahnya di pasangi Torashch itu pernah melakukan upacara adat kematian tingkat tertinggi, karena sebelumnya ada beberapa tingkatan adat kematian yang harus di lewati. Sedangkan Sokallan itu sebagai tanda bahwa pada waktu acara kematian itu ada membunuh kerbau pada hari H-nya.
Ini sungguh suatu budaya yang sekarang di lihat dari segi apa pun tidak baik, baik dari segi agama maupun hukum negara. Namun kita bersyukur budaya ini sudah resmi sudah dihapuskan pada pertemuan damai di Tumbang Anoi tahun 1894.
Pertemuan Damai Tumbang Anoi ini di pimpin oleh satu putra terbaik suku Uut Danum yaitu Damang Bahtu” yang ketika itu sudah berusia melebihi setengah abad. Semua ongkos juga dia tanggungnya sendiri dengan membunuh ayam, babi, sapi dan kerbau, karena dirinya kaya raya dan Mamut Motong Hullah Bollum (Banyak membunuh dan kaya raya sehingga tidak menyesal hidup ke dunia).
Selain itu juga kita menjadi tahu, jika masyarakat Dohoi Uut Danum sangat percaya akan kehidupan sesudah kematian jadi mati itu tidak sia-sia, tetapi ada kehidupan di sana setelah manusia mati.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H