Mohon tunggu...
Yovinus
Yovinus Mohon Tunggu... Penulis - laki-laki

Hidup itu begitu indah, jadi jangan disia-siakan. Karena kehidupan adalah anugerah Tuhan yang paling sempurna bagi ciptaanNya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengayau, Tradisi Berburu Kepala untuk Upacara Adat dan Kejantanan di Kalimantan

1 Juli 2022   10:16 Diperbarui: 6 Juli 2022   08:15 2858
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: dokumen pribadi

Singkat cerita, dalam upacara adat “Dolong Hopong” (iring-iringan) sebelum sampai ke tempat Hopong sampai memotong Hopong pun mereka akan di minta untuk melakukan kesenian Parung atau budaya berkata-kata dalam nyanyian lagu sastra, di mana di sinilah dia akan mengaku berapa orang yang telah di bunuhnya dengan menggunakan bahasa sastra Parung atau juga dalam bahasa Kandan yang menjadi tradisi dalam suku Uut Danum.

Perlu pembaca ketahui Hopong ini adalah khas budaya Uut Danum yang diperuntukkan untuk menyambut para Temuai, baik yang membawa kepala atau hanya sekedar mengantarkan pengantin. Dewasa ini sudah bertambah untuk menyambut para pejabat yang datang ke daerah setempat.

Hopong juga terdiri dari beberapa macam tingkatan dan jenis kayu penghalangnya serta aksesorinya, yaitu dari yang paling rendah seperti tikar biasa saja sampai yang tertinggi dengan menggunakan Kacang Uwoi (tikar Rotan) dan Bollangak Jaot (Tempayan Mahal) serta Takui Darok (Caping yang dirajut khusus) di sisinya.

Perlu juga diketahui bahwa bahasa Parung dan Kandan ini merupakan bahasa tingkat tinggi, yang dalam budidaya Uut Danum terdiri dari tiga bahasa, yaitu bahasa Parung, Bahasa Tahtum dan bahasa Kandan. Ketiga bahasa ini digunakan dalam seni sastra selain dari bahasa Uut Danum sehari-hari karena tingkatannya di anggap lebih tinggi.

Jika dalam tujuh tahun itu mereka tidak mendapatkan kepala, maka mereka akan menggunakan Jihpon Desak (Budak Belian) yang mereka miliki sebagai penggantinya. Tapi uniknya budak belian itu tidak akan melawan jika di bunuh oleh tuannya untuk upacara adat.

Perlu juga penulis sampaikan, dalam suku Dohoi Uut Danum ini adanya budaya perbudakan, yang sudah dihapuskan dalam pertemuan Damai di Tumbang Anoi Kalimantan Tengah tahun 1894 lalu, atau sekitar 51 tahun sebelum Indonesia merdeka.

Budaya Perbudakan ini juga dihapus bersamaan dengan budaya Mengayau, sehingga secara resmi pada tahun 1894 itu tidak ada lagi tradisi mengayau dan perbudakan di Kalimantan.

Jadi budak yang mereka miliki akan mereka jadikan korban, yang mana dimasukkan ke dalam kuburannya, sehingga diharapkan mereka akan menjadi pembantunya di alam orang mati sana.

Maka tidak heran dalam budaya kematian tingkatan yang tertinggi yang di sebut “Dallok” itu anda tanda “Torasch” dan “Sokallan” yang akan dirikan di depan rumah. Dallok itu hanya bagi yang mampu saja secara ekonomi karena ada yang melakukannya selama tujuh tahun dan setiap harinya harus memotong babi dan ayam dan menanggung orang yang datang untuk makan dan minum.

Sehingga upacara ini sesungguhnya akan menelan biaya ratusan miliaran secara keseluruhan, jadi wajar saja jika masyarakat akan menuntut perusahaan jika tempat yang keramat ini sampai di rusak.

Torasch terdiri dari kayu ulin, sebagai tanda bawah keluarga yang di depan rumahnya di pasangi Torashch itu pernah melakukan upacara adat kematian tingkat tertinggi, karena sebelumnya ada beberapa tingkatan adat kematian yang harus di lewati. Sedangkan Sokallan itu sebagai tanda bahwa pada waktu acara kematian itu ada membunuh kerbau pada hari H-nya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun