Jadi menurut hemat penulis, maka Uut Danum adalah sebutan yang lebih masuk akal, karena itu dari segi makna kata secara leksikal dan budaya mempunyai maksud dan arti. Memang bisa menulis dengan kata Uud Danum, tapi nantinya akan bersinggungan dengan makna Undang-Undang Dasar jika di tulis dalam huruf besar, maka penulis lebih memilih menulisnya dengan Uut Danum.
Suku ini merupakan kelompok suku, yang di dalamnya terdiri dari suku Dohoi, Cohie, Melahui, Limbai, Pangin, Sebaung, Siang, Murung dan lain-lainya sampai berjumlah sekitar lebih dua puluhan suku.
Meskipun ada beberapa suku yang tidak mau ikut bergabung dan menolak klaim itu, meskipun secara budaya dan bahasa memang mereka memiliki kemiripan sekira delapan puluh persen. Itu adalah hak mereka untuk menolak, meskipun secara kesamaan orang Uut Danum menganggap mereka satu rumpun.
Menurut para ahli sejarah suku ini yang tertua di Kalimantan, yaitu sekitar 2500 tahun sebelum Masehi sudah berada di Kalimantan atau sampai sekarang sekitar hampir lima ribu tahun.
Mereka juga merupakan kelompok yang terbesar di Kalimantan, yaitu sekitar lebih dua juta jiwa. Meskipun jika dibanding jumlah orang Jawa dan Sunda tentu saja mereka akan tertawa. Karena jumlah orang Jawa itu melebihi 150 juta jiwa dan masyarakat Sunda melebihi 35 juta jiwa.
Sedangkan menurut legenda yang mereka miliki, suku ini sudah berada di Kalimantan sudah miliaran tahun lalu, karena dalam suku ini ada cerita tentang asal mula terjadinya alam semesta seperti bintang, matahari, bumi dan planet lainnya (akan posting di kesempatan lain).
Nah kita kembali berbicara tentang budaya mengayau tadi. Pada suku Dohoi Uut Danum, maka budaya atau tradisi mengayau itu ada kaitannya dengan upacara kematian.
Karena mereka percaya akan adanya kehidupan setelah kematian, maka mereka perlu mencari orang untuk dijadikan “Jihpon Desak” (budak belian) di alam kematian sana. Sehingga mereka perlu mencari kepala orang-orang lain minimal satu orang, yang akan di cari selama bertahun-tahun bahkan batasnya sampai tujuh tahun.
Selama ini mayat tidak boleh dikuburkan, maka di sediakan tempat di belakang rumah dan mayatnya harus di awetkan agar tidak membusuk dan ini bisa berlangsung tujuh tahun.
Kalau mereka berhasil dalam upaya mengayau anggota suku lain ini, maka mereka akan di sambut dengan peristiwa besar yang di sebut “Hobolluhan Kanyou”, yang artinya iring-iringan penyambutan orang pulang mengayau. Mereka yang berhasil itu akan dibuatkan semacam kursi dari kayu dan akan di pikul oleh orang kampung secara beramai-ramai.